cerita sebelumnya
Sore itu hujan mengguyur dengan santai,
hanya saja rintiknya yang terlihat ringan mengelabui orang yang berlalu lalang.
Sesungguhnya rintik itu deras jika dipaksakan, maka itu aku, Chika dan Mia
memilih meunggu bersama di kantin.
“Al,
ada yang mau bicara sama kamu,” ungkap Chika.
“Siapa?,”
tanyaku curiga.
“Ega,
Al. Ada hal penting yang mau dia kasih tahu ke kamu,” sambung Mia.
Aku hanya diam. Berdoa dalam hati agar hujan segera menyudahi
aksinya. Tetapi tiba-tiba, Ega muncul di dekat kami. Chika dan Mia langsung
beranjak dan meninggalkan aku dan Ega. Aku mulai tidak menyukai keadaan ini.
ada perasaan canggung dan kesal. Akhirnya aku beranjak dari hadapan Ega setelah
satu kalimat yang sempat diucapkan Ega.
“Aldina,
aku minta maaf”
Setelah hari itu, aku tak pernah melihat Ega lagi. Awalnya kukira Ega
sakit karena kehujanan sehingga tidak masuk sekolah. tetapi 3 hari kemudian,
aku baru mendapat kabar kalau Ega pindah ke Bandung bersama keluarganya. Kabar itu kudapatkan
tidak sengaja dari obrolan teman sekelasnya saat aku sedang di kantin.
“Hal
penting yang mau diomongin Ega ke kamu adalah masalah kepindahannya ke
Bandung,” tutur Mia
“Dia
mau say goodbye, tapi kamu pergi sebelum dia bilang apapun”, tambah Chika
Di
sela tangisku, aku membuka suara “Kenapa kalian nggak kasih tahu aku?”
“Setiap
kita sebut nama Ega, mood kamu pasti akan langsung berubah. Jadi, kita kira
kamu memang udah benar-benar nggak peduli sama Ega. Al”.
Seminggu
itu aku diliputi kesedihan dan perasaan kehilangan akan Ega yang begitu dalam.
Aku merasa kehilangan sosok sahabat yang begitu kusayangi dan menyayangiku. Aku
tak bisa berbuat banyak. Keluarga Ega tak meninggalkan alamatnya di Bandung.
Sejak saat itu, aku tak pernah
lagi mengetahui kabar mengenai Ega, hingga sebulan yang lalu kami bertemu dalam
acara reuni. Lalu memutuskan untuk bertemu kembali hari ini. Ega menyadarkan
lamunanku dan langsung menarikku naik ke dalam bus yang telah berhenti di
hadapan kami.
Setelah mendapatkan tempat duduk,
aku membuka mulut “Kita mau kemana sekarang?,” tanyaku.
“Nanti juga tahu. Hari ini
pokoknya aku yang akan mejadi tour guide
kamu,” ujar Ega mantap.
Garis-garis kedewasaan telah
menyelimuti diri Ega, membuatku mengulum senyum bahagia dalam hati.
Kami sampai di sebuah bangunan 3
lantai yang hanya menyisakan kerangkanya. Aku ingat betul, 7 tahun silam, aku
dan Ega sering datang ke sini selepas ujian. Berteriak puas karena telah
membabat habis soal-soal. Pernah juga menangis jika merasa tidak bisa menjawab
soal ulangan harian. Kami duduk di lantai atas. Memandang langit biru yang siap
berganti oranye.
“Bangunan ini belum berubah ya.
Masih begini aja. Padahal sudah 7 tahun”, bukaku.
“Iya. Masih begini aja. Nggak
hancur, nggak jadi bagus juga”, timpal Ega.
“Kenapa nggak ada investor yang pake gedung ini ya?”, tanyaku sambil
memandang sekitar.
“Aku rasa kita tahu
jawabannya…sejak 7 tahun silam”
“Gosip kalau gedung ini
berhantu, kamu masih percaya?”, tanyaku penasaran.
Ega menggeleng dan berdiri “Aku
akan kembali dalam hitungan menit, tunggu ya”, pinta Ega manis.
Aku memejamkan mata sambil
menghirup udara sore sedalam mungkin. Membiarkan angin sore memainkan rambut
panjangku dan membelai lembut wajahku. Hingga aku membuka mata kembali, sebuah
es krim durian menunggu di depan wajahku.
“Aku rasa kecintaan kamu dengan
es krim durian belum berubah, bukan?,” tanya Ega sambil menjilat es krim durian
miliknya.
Aku langsung merebut es krim
durian milikku yang berada dalam genggamna Ega.”Tentu saja,” jawabku mantap dan
langsung melahap es krim durian.
“Ada gossip baru tentang
gedung ini, mau dengar?”, tanya Ega.
“Gossip apa? Pasti Cuma cerita
khayalan kamu seperti dulu. Kamu bilang di gedung ini ada hantunya, padahal itu
hanya untuk menakuti orang, supaya mereka tidak datang ke sini. Supaya tempat
ini jadi tempat rahasia kita berdua, iyakan?”
Ega tertawa kecil mengakui
perbuatannya di masa lalu.”Tapi asik dong, tempat ini jadi spesial. Hanya milik
kita, Ega dan Aldina”
“Tapi kasihan yang lain nggak bisa ngeliat sunset di sini”
“Ya itu sih salah mereka kenapa
percaya sama omongan anak kelas 2 SMP,”
“Kalau begitu, gossip barunya apa
tentang gedung ini? Aku mau dengar tapi nggak akan percaya”
“Katanya, kalau ada pasangan
kekasih yang datang ke sini, salah satunya akan mati”
Aku tertawa terbahak-bahak.mendengar
cerita khayalan baru yang diciptakan Ega.
“Lho kok ketawa?,” tanya Ega
heran.
“Kamu itu kalau mau ngarang cerita yang masuk akal sedikit
dong. Mana ada sih pasangan kekasih yang mau datang ke sini, baru liat dari
luar aja udah serem”
“Tapi buktinya kita datang ke
sini”
Aku berhenti tertawa dan
menembus ke mata Ega sambil berkata “Kita bukan pasangan kekasih.” Aku berdiri
meninggalkan Ega, seperti matahari yang meninggalkan bumi.
Kami baru saja mengisi nasi
goreng ke perut kami masing-masing, tapi jagung bakar di depan bioskop tua yang
ada di sudut jalan meronta-ronta memanggil kami.
“Aku nggak tahu, kalau tubuh
sekecil kamu ini makannya banyak sekali,” ujar Ega setelah gigitan jagung bakar
saus pedas miliknya.
Aku hanya mencibir. “Aku udah
lama nggak makan jagung bakar di sini tau !”
“Aku juga. Inget banget, dulu setiap malam minggu, kita ber-4, bareng Chika
dan Mia pasti makan jagung di sini”
Aku tertawa mengingat itu.
“Habis ini kita mau kemana?”
“Pulang aja deh. Udah malem,”
jawabku sambil melirik jam tangan biru metalik milikku yang sudah menunjukkan
pukul 9 lewat.
“Oke. Aku akan mengantarkan Tuan
Putri ini sampai depan rumahnya, kalau perlu sampai depan pintu kamarnya”
Mataku melotot nakal, tanpa
berkata-kata. Sementara gigiku masih asik menggerogoti jagung bakar saus
mayonnaise keju, Ega hanya tertawa kecil.
Ega menepati janjinya. Dia
mengantarku pulang sampai pintu gerbang rumahku. Saat itu, jam menunjukkan
tepat pukul 10.
“Makasih ya Ga, sudah antar aku
sampai rumah. Maaf nggak bisa ngajak kamu masuk, soalnya udah malem”
“Never mind, Al. Aku juga harus pulang. Tapi next time bolehkan main ke rumahmu?”
“Tentu saja. Ohya, makasih juga
untuk sehari ini yang sangatttt menyenangkan. Aku pasti nggak akan lupa dengan hari ini”
“Anytime, Al. Aku senang kalau kamu menikmati satu hari ini
denganku, dengan berbagai kenangan kita. Aku hanya ingin kamu tahu kalau
perasaanku ke kamu hingga saat ini nggak
pernah berubah. Masih sama seperti 8 tahun yang lalu”
Aku terdiam. Mata Ega masih
menatap lurus ke mataku. Apa aku harus menyampaikan bagaimnaa perasaanku ke Ega
setelah seharian ini bersamanya. Tapi rasanya ini masih terlalu awal. Baru 12
jam bersama Ega setelah sekian lama tidak bertemu dengannya, aku tidak ingin
gegabah. Inikan menyangkut hati.
“Good night, Ga,” tutupku sambil segera masuk ke dalam rumah.
Matahari masih bersinar
malu-malu, tetapi aku sudah memisahkan tubuhku dari kasur empuk kesayanganku.
Biasanya aku selalu bangun siang di hari libur. Tetapi perasaan senang yang
meluap-luap dalam diriku justru membuatku tidak ingin tidur terlalu lama. Ya,
begitulah aku. Jika terlampau senang, justru tidak bisa tidur.
Aku menuju dapur dan bersiap
meracik teh untukku sendiri. Terdengar suara gaduh warga dari luar. Aku juga
mendengar suara ayahku yang nampaknya berbincang dengan salah satu warga.
Setelah selesai meracik teh, aku bergegas menemui ayah.
“Ayah, ada apa sih? Kok rame
banget? Kayak habis nangkep maling aja.” ujarku santai
sambil menyesap teh melati hangat.
“Iya, semalam memang ada maling
di kompleks kita. Ada
seorang pemuda yang memergokinya, tetapi si pemuda itu malah ditusuk sama
malingnya,” jelas Ayah.
“Ya ampun, kasihan banget. Terus
si pemuda itu gimana sekarang keadaannya ?”
“Dia meninggal karena kehabisan
darah”
“Kasihan banget, yah. Warga sini
bukan memangnya?”
“Katanya sih bukan. Tapi katanya
sih ganteng, Al”
“Terus kenapa kalau ganteng
memangnya?”
“Ya, sayang aja. Ganteng dan
belum menikah, tapi harus mati muda”
“Takdir mungkin, yah. Tapikan
matinya mulia”
“Iya ya, nanti nama di nisannya
pasti akan berkilau.”
“Emang namanya siapa? Ayah tau?”
“Ega Rivano”
Cangkir tehku seketika terlepas
dari genggaman tanganku. Tubuhku menegang.
END
2 comments:
yah, tuh kan sedih lagi ending'y
but still nice story
makasih
Post a Comment