August 14, 2012

Dua Belas Jam Aldina #2


cerita sebelumnya



Sore itu hujan mengguyur dengan santai, hanya saja rintiknya yang terlihat ringan mengelabui orang yang berlalu lalang. Sesungguhnya rintik itu deras jika dipaksakan, maka itu aku, Chika dan Mia memilih meunggu bersama di kantin.
                “Al, ada yang mau bicara sama kamu,” ungkap Chika.
                “Siapa?,” tanyaku curiga.
                “Ega, Al. Ada hal penting yang mau dia kasih tahu ke kamu,” sambung Mia.
                 Aku hanya diam.  Berdoa dalam hati agar hujan segera menyudahi aksinya. Tetapi tiba-tiba, Ega muncul di dekat kami. Chika dan Mia langsung beranjak dan meninggalkan aku dan Ega. Aku mulai tidak menyukai keadaan ini. ada perasaan canggung dan kesal. Akhirnya aku beranjak dari hadapan Ega setelah satu kalimat yang sempat diucapkan Ega.
                “Aldina, aku minta maaf” 
                Setelah hari itu, aku tak pernah melihat Ega lagi. Awalnya kukira Ega sakit karena kehujanan sehingga tidak masuk sekolah. tetapi 3 hari kemudian, aku baru mendapat kabar kalau Ega pindah ke Bandung bersama keluarganya. Kabar itu kudapatkan tidak sengaja dari obrolan teman sekelasnya saat aku sedang di kantin.
                “Hal penting yang mau diomongin Ega ke kamu adalah masalah kepindahannya ke Bandung,” tutur Mia
                “Dia mau say goodbye, tapi kamu pergi sebelum dia bilang apapun”, tambah Chika
                Di sela tangisku, aku membuka suara “Kenapa kalian nggak kasih tahu aku?”
                “Setiap kita sebut nama Ega, mood kamu pasti akan langsung berubah. Jadi, kita kira kamu memang udah benar-benar nggak peduli sama Ega. Al”.
                Seminggu itu aku diliputi kesedihan dan perasaan kehilangan akan Ega yang begitu dalam. Aku merasa kehilangan sosok sahabat yang begitu kusayangi dan menyayangiku. Aku tak bisa berbuat banyak. Keluarga Ega tak meninggalkan alamatnya di Bandung.


                Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mengetahui kabar mengenai Ega, hingga sebulan yang lalu kami bertemu dalam acara reuni. Lalu memutuskan untuk bertemu kembali hari ini. Ega menyadarkan lamunanku dan langsung menarikku naik ke dalam bus yang telah berhenti di hadapan kami.
                Setelah mendapatkan tempat duduk, aku membuka mulut “Kita mau kemana sekarang?,” tanyaku.
                “Nanti juga tahu. Hari ini pokoknya aku yang akan mejadi tour guide kamu,” ujar Ega mantap.
                Garis-garis kedewasaan telah menyelimuti diri Ega, membuatku mengulum senyum bahagia dalam hati.
                Kami sampai di sebuah bangunan 3 lantai yang hanya menyisakan kerangkanya. Aku ingat betul, 7 tahun silam, aku dan Ega sering datang ke sini selepas ujian. Berteriak puas karena telah membabat habis soal-soal. Pernah juga menangis jika merasa tidak bisa menjawab soal ulangan harian. Kami duduk di lantai atas. Memandang langit biru yang siap berganti oranye.
                “Bangunan ini belum berubah ya. Masih begini aja. Padahal sudah 7 tahun”, bukaku.
                “Iya. Masih begini aja. Nggak hancur, nggak jadi bagus juga”, timpal Ega.
                “Kenapa nggak ada investor  yang pake gedung ini ya?”, tanyaku sambil memandang sekitar.
                “Aku rasa kita tahu jawabannya…sejak 7 tahun silam”
                “Gosip kalau gedung ini berhantu, kamu masih percaya?”, tanyaku penasaran.
                Ega menggeleng dan berdiri “Aku akan kembali dalam hitungan menit, tunggu ya”, pinta Ega manis.
                Aku memejamkan mata sambil menghirup udara sore sedalam mungkin. Membiarkan angin sore memainkan rambut panjangku dan membelai lembut wajahku. Hingga aku membuka mata kembali, sebuah es krim durian menunggu di depan wajahku.
                “Aku rasa kecintaan kamu dengan es krim durian belum berubah, bukan?,” tanya Ega sambil menjilat es krim durian miliknya.
                Aku langsung merebut es krim durian milikku yang berada dalam genggamna Ega.”Tentu saja,” jawabku mantap dan langsung melahap es krim durian.
                “Ada gossip baru tentang gedung ini, mau dengar?”, tanya Ega.
                “Gossip apa? Pasti Cuma cerita khayalan kamu seperti dulu. Kamu bilang di gedung ini ada hantunya, padahal itu hanya untuk menakuti orang, supaya mereka tidak datang ke sini. Supaya tempat ini jadi tempat rahasia kita berdua, iyakan?”
                Ega tertawa kecil mengakui perbuatannya di masa lalu.”Tapi asik dong, tempat ini jadi spesial. Hanya milik kita, Ega dan Aldina”
                “Tapi kasihan yang lain nggak bisa ngeliat sunset di sini”
                “Ya itu sih salah mereka kenapa percaya sama omongan anak kelas 2 SMP,”
                “Kalau begitu, gossip barunya apa tentang gedung ini? Aku mau dengar tapi nggak akan percaya”
                “Katanya, kalau ada pasangan kekasih yang datang ke sini, salah satunya akan mati”
                Aku tertawa terbahak-bahak.mendengar cerita khayalan baru yang diciptakan Ega.
                “Lho kok ketawa?,” tanya Ega heran.
                “Kamu itu kalau mau ngarang cerita yang masuk akal sedikit dong. Mana ada sih pasangan kekasih yang mau datang ke sini, baru liat dari luar aja udah serem”
                “Tapi buktinya kita datang ke sini”
                Aku berhenti tertawa dan menembus ke mata Ega sambil berkata “Kita bukan pasangan kekasih.” Aku berdiri meninggalkan Ega, seperti matahari yang meninggalkan bumi.



                Kami baru saja mengisi nasi goreng ke perut kami masing-masing, tapi jagung bakar di depan bioskop tua yang ada di sudut jalan meronta-ronta memanggil kami.
                “Aku nggak tahu, kalau tubuh sekecil kamu ini makannya banyak sekali,” ujar Ega setelah gigitan jagung bakar saus pedas miliknya.
                Aku hanya mencibir. “Aku udah lama nggak makan jagung bakar di sini tau !”
                “Aku juga. Inget banget, dulu setiap malam minggu, kita ber-4, bareng Chika dan Mia pasti makan jagung di sini”
                Aku tertawa mengingat itu.
                “Habis ini kita mau kemana?”
                “Pulang aja deh. Udah malem,” jawabku sambil melirik jam tangan biru metalik milikku yang sudah menunjukkan pukul 9 lewat.
                “Oke. Aku akan mengantarkan Tuan Putri ini sampai depan rumahnya, kalau perlu sampai depan pintu kamarnya”
                Mataku melotot nakal, tanpa berkata-kata. Sementara gigiku masih asik menggerogoti jagung bakar saus mayonnaise keju, Ega hanya tertawa kecil.


                Ega menepati janjinya. Dia mengantarku pulang sampai pintu gerbang rumahku. Saat itu, jam menunjukkan tepat pukul 10.
                “Makasih ya Ga, sudah antar aku sampai rumah. Maaf nggak bisa ngajak kamu masuk, soalnya udah malem”
                “Never mind, Al. Aku juga harus pulang. Tapi next time bolehkan main ke rumahmu?”
                “Tentu saja. Ohya, makasih juga untuk sehari ini yang sangatttt menyenangkan. Aku pasti nggak akan lupa dengan hari ini”
                “Anytime, Al. Aku senang kalau kamu menikmati satu hari ini denganku, dengan berbagai kenangan kita. Aku hanya ingin kamu tahu kalau perasaanku ke kamu hingga saat ini nggak pernah berubah. Masih sama seperti 8 tahun yang lalu”
                Aku terdiam. Mata Ega masih menatap lurus ke mataku. Apa aku harus menyampaikan bagaimnaa perasaanku ke Ega setelah seharian ini bersamanya. Tapi rasanya ini masih terlalu awal. Baru 12 jam bersama Ega setelah sekian lama tidak bertemu dengannya, aku tidak ingin gegabah. Inikan menyangkut hati.
                “Good night, Ga,” tutupku sambil segera masuk ke dalam rumah.


                Matahari masih bersinar malu-malu, tetapi aku sudah memisahkan tubuhku dari kasur empuk kesayanganku. Biasanya aku selalu bangun siang di hari libur. Tetapi perasaan senang yang meluap-luap dalam diriku justru membuatku tidak ingin tidur terlalu lama. Ya, begitulah aku. Jika terlampau senang, justru tidak bisa tidur.
                Aku menuju dapur dan bersiap meracik teh untukku sendiri. Terdengar suara gaduh warga dari luar. Aku juga mendengar suara ayahku yang nampaknya berbincang dengan salah satu warga. Setelah selesai meracik teh, aku bergegas menemui ayah.
                “Ayah, ada apa sih? Kok rame banget? Kayak habis nangkep maling aja.” ujarku santai sambil menyesap teh melati hangat.
                “Iya, semalam memang ada maling di kompleks kita. Ada seorang pemuda yang memergokinya, tetapi si pemuda itu malah ditusuk sama malingnya,” jelas Ayah.
                “Ya ampun, kasihan banget. Terus si pemuda itu gimana sekarang keadaannya ?”          
                “Dia meninggal karena kehabisan darah”
                “Kasihan banget, yah. Warga sini bukan memangnya?”
                “Katanya sih bukan. Tapi katanya sih ganteng, Al”
                “Terus kenapa kalau ganteng memangnya?”
                “Ya, sayang aja. Ganteng dan belum menikah, tapi harus mati muda”
                “Takdir mungkin, yah. Tapikan matinya mulia”
                “Iya ya, nanti nama di nisannya pasti akan berkilau.”
                “Emang namanya siapa? Ayah tau?”
                “Ega Rivano”
                Cangkir tehku seketika terlepas dari genggaman tanganku. Tubuhku menegang.


END

2 comments:

Unknown said...

yah, tuh kan sedih lagi ending'y
but still nice story

Fitria Wardani said...

makasih

© My Words My World 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis