Hello
readers.
Oktober telah hengkang dan November—si bulan ke-2 terakhir dalam kalendar
masehi—telah datang. Saya menyadari kalau postingan bulan Oktober kemarin
sangatlah sedikit dan sebenarnya merupakan arsip yang telah ada di notebook saya sejak tahun lalu.
Bukan untuk beralibi, tapi Oktober ini menjadi pusat kehectican bagi saya, mulai dari kegiatan
kampus, perkuliahan, hingga keluarga. Kalau boleh sedikit share, Oktober ini menjadi waktu action nya kita (saya dan teman teman panitia) atas sebuah acara. Setelah persiapan
2 bulan sebelumnya.
Honestly, saya hanya menjadi
orang di balik layar yang harus mempersiapkan sebelum hari H, setelah hari H
dan perkembangan setiap harinya. Kenapa pusat kehectican keluarga ? karena di
bulan ini juga salah satu sepupu
saya menikah di weekedays (oke
sebenernya mungkin ini ga perlu dijelasin hehe) beberapa anggota keluarga yang
jatuh sakit, dsb. Dan pusat kehectican
kegiatan perkuliahan karena di bulan inilah UTS digelar.
Iya, ujian tengah semester. Artinya semester ini telah dilewati setengah
perjalanan. Betapa cepatnya waktu ini berlari, Ya Tuhan. Honestly, saya menulis ini di sela waktu istirahat untuk
mempersiapakan UTS yang tersisa 1 matkul lagi.
Postingan kali ini sebenarnya bukan untuk bercerita bagaimana semua acara
itu berlangsung, tetapi lebih kepada pembelajaran yang bisa saya ambil dari 2,5
bulan ini. Yes, lesson I learned from all
my experiences.
Ini kepanitiaan terbesar—dengan 6 acara—yang pernah saya ikuti dimana
saya cukup berperan sentral di dalamnya. Kalau mau dikaitkan dengan salah satu matkul,
atau mungkin lebih maka saya bisa mengamini kalau Sistem Pengendalaian itu
penting.
Iya, Pengendalian (controlling)
yang merupakan proses pengawasan dengan memantau dan memperbaiki jika terjadi
penyimpangan (Maaf, ini definsi pribadi hehe) memang sangatlah penting. Dari proses
kemarin, saya belajar kalau semua panitia haruslah melakukan pengendalian satu sama
lain. Dalam bentuk teguran untuk koreksi jika ada yang salah.
Jika ada kesalahan, maka tidak bisa hanya satu orang yang disalahkan
meski mungkin itu merupakan kelalaian dan tanggung jawabnya. Tetapi, mungkin
kita lupa kalau kita juga lalai untuk peduli, lalai memberikan koreksi, dan
lalai untuk mengingatkannya
Selain itu, kita juga harus
memosisikan diri sebagai orang yang mendapatkan koreksi itu. Mendapatkan koreksi
artinya pemberitahuan cara atau langkah yang benar yang seharusnya kita
lakukan. Bukankah hal itu sangat baik ? I
mean, jika ada orang yang memberitahu kita cara yang seharusnya dan
sebaiknya, menunjukkan kalau orang tersebut peduli dan menginginkan kita mengerjakan
dengan lebih baik lagi.
Maka dari itu, pantaskah kita marah-marah karena telah merasa bersusah
payah melakukan hal—yang mendapat koreksi—itu ? jangan, readers. Ada baiknya kita merenungkan apa koreksi yang diberikan
teman kata itu. Dan kita yang juga berkesempatan menjadi pihak pengkoreksi,
mari ikut siapkan solusi untuk teman kita
yang terkoreksi itu. Semoga paham dengan maksudnya ya.
Pelajaran selanjutnya adalah soal
tanggung jawab, wewenang dan profesionalitas. Dan kesimpulan besarnya dari
saya adalah saya harus kembali belajar banyak soal profesionalitas. Karena
bagaimanapun juga status (dalam hal ini jabatan) yang telah melekat dalam diri
seseorang menciptakan stigma dari orang lain. Maka dari itu, kita harus
mempertanggungjawabkan sebuah status itu dengan bekerja secara professional.
Dari acara kemarin, saya juga menemukan sebuah fakta kalau kita tidak bisa memaksakan orang lain mengikuti
apa yang kita lakukan atau memaksanya melakukan hal yang seharusnya ia lakukan.
Yang ada, kita hanya bisa memaksakan
diri kita sendiri. Contoh kecilnya kalau kita malas, kita tidak bisa
memaksa orang lain untuk terus menyemangati kita agar kita tidak malas atau
kita memaksa mereka untuk mengerjakan tugas kita. Yang ada kita hanya bisa
memaksakan diri kita untuk bangun dan melawan semua rasa malas dalam diri itu.
Selanjutnya, soal persahabatan,
kesetiakawanan atau se-iya sekata atau senasib dan sepenanggungan. Haha rasanya
semua terlalu berlebihan. Sebenarnya yang ingin saya
garisbawahi adalah soal alasan. Alasan yang cukup tidak rasional tapi tetap
kita jalankan. Contoh kecil dan nyata dari acara kemarin adalah saat rapat. Rapat
persiapan acara seringkali digelar hingga bulan dan bintang menjadi hiasan
(baca : sampe malem). Pernah sesekali, saya dan teman BPH masih harus rapat
dengan pengurus soal budgeting setlah
rapat umum selesai.
Tetapi, betapa kagetnya saya saat rapat bersama pengurus selesai, saya
masih menemukan mereka di luar (gelap dan banyak nyamuk) masih menunggu dengan
setia. Mari berpikir secara rasional, apa alasan kita menunggu teman yang masih
memiliki kepentingan padahal jalan pulang belum tentu searah ditambah besok
harus presentasi kuliah atau tugas?
Lalu, saat pulang maka kami benar-benar pulang, bukan merencanakan untuk
makan bersama terlebih dahulu atau apa. Kami saling menunggu karena ingin
keluar gerbang kampus secara bersama-sama. Sungguh alasan yang tidak mudah
dipahami. Padahal teman kita itu tidak memberikan uang jajan, gadget terbaik atau mentraktir kepada kita, lalu mengapa ? Alasan menunggu itu ?
Bukankah ini sebuah alasan yang tidak rasional. Karena memang tidak ada
alasan di dalamnya. inilah pengaruh dari adanya trust yang telah tertanam satu sama lain. Trust itu adalah jawaban yang tercipta karena proses yang tealh
kita lewati selama 1 atau 2 tahun ke belakang ini Tetapi, readers berhati-hatilah dengan trust, jika kamu mengkhianatinya maka
akan sullit menumbuhkannya kembali.
|
Terima Kasih Cemara yang setia menunggu (hehe) |
|
Bersama Ketua Pelaksana (Kanan) |
Menyoal bohong. Saya paling benci dibohongi, apalagi dengan orang yang
sudah sangat kita percaya, karean pada dasarnya saya sulit percaya kepada orang
lain. Dan jika sekali saja kamu
berbohong, maka kamu akan mencari kebohongan lain untuk menutupi kebohongan
lainnya. That’s why kita nggak
boleh bohong, karena secara nggak langsung hal ini menjelaskan kalau bohong itu
tidak akan pernah menemukan garis finish.
Atas semua hal ini, yang sangat saya dapatkan adalah Tuhan akan mengabulkan doa umatNya, kita hanya perlu percaya dan tetap
yakin serta bersabar menunggu kapan waktu itu tiba. Atas semua proses yang
menyulitkan dan melelahkan ini, saya merasa bersyukur karena ini semua merupakan
doa yang ssaya titipkan mealui malaikat dan dikabulkan oleh Tuhan. Doa yang
bukan setahun atau 2 tahun kemarin saya ucapkan. Dan kenapa Tuhan baru mengabulkannya
sekarang, saya percaya Tuhan punya alasan terbaikNya yang rasional.
Terima kasih untuk semua teman-teman panitia Pekan Koperasi atas
kerjasama dan semangatnya. Mohon maaf untuk semua kata dan perilaku saya yang
selama ini mungkin secara sengaja atau tidak melukai teman-teman. Semoga semua
proses ini mendewasakan kita dan menjadikan pelajaran dan krayon indah dalam
kehidupan kita.