“Kenapa
Balon?,” tanyaku pada akhirnya. Menyudahi semua tanya yang bergejolak sendiri
dalam diriku.
Kamu
sibuk mengaduk es podeng yang ada di hadapanmu. Menyisihkan alpukat, buah yang
paling kamu hindari.
“Kenapa
tadi nggak bilang ke abangnya buat nggak pake alpukat aja?,” pertanyaan kedua meluncur
dari mulutku.
Kamu
masih belum menjawab. Tetapi lebih memilih menyuapkan sesendok es ke dalam
mulutmu. Beberpa detik kemudian kamu mengangkat bahumu dengan mata terpejam.
Bahasa tubuhmu menyiratkan kamu menikmati es yang melebur di lidahmu. Hujan di
luar sana tak lagi kamu hiraukan.
Sementara
aku hanya menggeleng kecil dengan menyeruput teh manis hangat yang kupesan dari
warung di seberang.
“Karena
aku ingin terbang. Dan memegang balon selalu menghadirkan kepercayaan buatku
kalau dia berjanji akan mengajakku terbang.”
Aku
mengalihkan pandanganku dari teh manisku ke matamu. Mencoba mencari cerita di
balik perkataanmu dari dua bola mata coklatmu. Meski aku tak pernah menemukan
jawabannya di sana.
“Itu
untuk jawaban pertama,” ujarmu dengan telunjuk kananmu yang kemudian kamu
tempelkan ke pipi kananmu.
“Yang
kedua…”
“Aku
nggak tertarik dengan yang kedua,” sergahku cepat sebelum kamu mulai
menjelaskan jawabannya. Aku selalu tahu jawabannya. Tapi aku tak pernah tahu
kenapa selalu kembali menanyakan hal yang sama saat menemukanmu meminggirkan
alpukat di es podengmu. Aku nggak mau
merepotkan abangnya. Lagipula, dengan memesan “nggak pake bla bla” menyiratkan
kamu pemilih dan nggak menerima apa adanya.
Kamu
akan menjawab seperti itu. Tidak masuk akal buatku. Karena toh kamu akan tetap
menjadi pemilih dengan meninggalkan si alpukat di gelas.
“Kenapa
ingin terbang?”
Kamu
diam. Sibuk dengan es podengmu. Aku juga diam. Sibuk dengan pikiranku,
mengingat kembali bagaimana bisa sampai di sini.
* * *
to be continued
26 Maret 2016
0 comments:
Post a Comment