Matahari
yang terus terbit di Timur dan tenggelam di Barat semakin mengantarkan saya
pada sebuah angka yang bertambah. Untuk sebuah usia yang terus bertambah, hal
utama yang harus kita ingat adalah rasa syukur untuk dapat memilikinya. Meski,
di belakangnya ada banyak pertanyaan sebagai bentuk refleksi diri. Seperti,
“Apa saja yang sudah saya raih di usia ini?” “Sifat buruk mana yang sudah
harus saya buang di usia ini?” dan masih
banyak lagi.
Bagi
saya usia melambangkan banyak hal. Selain sebagai refleksi tentang diri, usia
menyiratkan selera. Hal ini saya sadari dalam banyak hal. Mulai dari bacaan,
tontonan hingga apa yang saya dengarkan. Saya ingat betul kalau komik bagian
dari bacaan favorit saya sejak
mengenakan rok merah. Tetapi di penghujung SMA, perlahan saya merasakan
kemampuan saya menyelesaikan komik yang saya baca justru semakin lambat. Hingga
saya menyadari, saya sudah tak lagi gemar membaca komik. Tapi lebih memilih
novel atau cerpen
Begitu
juga dengan saluran radio yang saya dengarkan. Sebagai radio addicted, ada beberapa radio yang saya dengarkan dari masa ke
masa. Guyonan pagi hari yang membuat semangat dengan durasi 4 jam atau curhat
tengah malam seputar love story. Tapi nyatanya, semakin pertambahan usia, saya
mulai tidak membutuhkan mendengarkan hal tersebut. Kini saya lebih memilih
mendengarkan radio yang pagi harinya bukan lagi soal guyonan tapi related
dengan worklife. Curhat malam hari
juga rasanya sudah terlalu melelahkan didengar, sehingga lagu-lagu menenangkan
pengantar tidur yang dimainkan di radio menajdi pilihan. Singkat kata,
pergeseran radio anak muda ke radio yang agak adult juga menjadi efek dari
pertambahan usia.
Tentu
tidak semua orang setuju dengan saya, jika usia menggeser selera. Ada beberapa
dari readers yang mungkin tetap setia dengan
selera yang sama berapapun usia mereka mengalami peningkatan. Dan hal itu bisa
saja terjadi.
Usia
dan perilaku adalah dua hal yang berdampingan. Keduanya saling berkaitan di
mata banyak orang, hingga sering muncul ungkapan “Malu sama umur, kelakuan
masih begitu.” Lalu sebagian bicara kalau usia hanya sebuah angka, “age is just a number”
Lalu,
apa makna usia sesungguhnya ? tentu ia bukan hanya sebuah angka. Jika toh pada
akhirnya ada banyak pembatasan pada usia. Seperti usia yang diperbolehkan
menonton film atau mendapatkan izin mengendarai kendaraan bermotor. Jika usia
masih menjadi kotak kotak dalam pencapaian karir, dimana yang tua lebih
mendapatkan posisi yang tinggi dengan sisa energi yang mereka miliki
dibandingkan dengan yang muda dengan semangat energi yang masih meluap.
Makna
usia sesungguhnya mungkin adalah tentang tanggung jawab. Age is about increasing responsibility. Bagaimana di setiap angka
yang berganti ada tanggung jawab baru yang ikut dipikul. Selalu ada
pertanggungjawaban atas setiap tindakan yang telah kita perbuat atau juga lisan
yang terucap. Tetapi, meski begitu berapapun usiamu, tetap saja kamu adalah
bayi di mata kedua orang tuamu. Sampai kapanpun itu, bukankah begitu ?
16 Juli 2016
Bertambahnya usia bukan berarti kita paham
segalanya
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan
menjauhi tanah.
Ia
merasa telah melihat segala dari ketinggiannya
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang
selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi
Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan
berarti kita lebih mengerti dari yang semula
Rambut putih tak menjadikan kita manusia
yang segala tahu
(Jembatan
Zaman dalam Filosofi Kopi – Dee Lestari)
0 comments:
Post a Comment