Daya - Legendary
Oh, I don't want to try it
Cause I'm scared that I'm gonna like it
And I can look but I'm not going to buy it
Cause my heart, heart is on a diet
But you give off something so cool, you do, you do
So I guess I'm bending my rules for you, for you
Let's pretend that it's a holiday
Boy you know it's only temporary
Just a kiss and gon' blow away
Like a valentine in February
Up all day and up all night
We're not wasting our precious time
We know it's never going past today so.
Why not make it legendary?
No, you can't get a remix
To testify about all of the kisses
When it's gone you know you going to miss this
At least you'll check, check me off your wish list
Yeah I give off something so cool, I do, I do
And I'll give a little to you, to you, to you
Let's pretend that it's a holiday
Boy you know it's only temporary
Just a kiss and gon' blow away
Like a valentine in February
Up all day and up all night
We're not wasting our precious time
We know it's never going past today so.
Why not make it legendary?
Hurry up before you're out of time
Better to it before I change my mind
Hurry up before you're out of time
Better to it before I change my mind
Let's pretend that it's a holiday
Boy you know it's only temporary
Just a kiss and gon' blow away
Like a valentine in February
Up all day and up all night
We're not wasting our precious time
We know it's never going past today so.
Why not make it legendary?
January 28, 2017
January 22, 2017
Perkara Menunggu
Minggu
menunggu. Setidaknya itu yang bisa saya simpulkan karena harus menunggu dua
kali dengan nomor antrean untuk waktu dan perkara berbeda. Meski sebenarnya,
keduanya memiliki persamaan. Perkara adminisrasi kenegaraan. Kenapa yang
menyangkut pemerintahan selalu saja membuat kita menunggu? Parahnya nomor tunggunya
cukup mengerutkan dahi.
Menunggu
itu melelahkan, apalagi hingga seharian. Dan saya pernah merasakannya. Karena sebuah
proses, menunggu di bagian itu terpaksa saya tuntaskan. Tetapi, rasanya tidak
akan berlaku jika harus menunggu seseorang seharian.
Menunggu
adalah hal yang menyebalkan. Saya percaya kalau sebagian orang meyakininya
demikian. Menunggu menjadikan waktu kita sia-sia dan tak bermakna. Menunggu mengacaukan
jadwal yang ada. Tetapi, tanpa kita sadari bukankah menunggu hampir selalu ada
di setiap bagian kehidupan kita.
Tentang
menunggu ojek online yang datang menjemput, menunggu giliran sampai di kasir
untuk membayar, menunggu pesanan makanan sampai di meja kita, menunggu chat di balas dari gebetan/atasan,
menunggu nada sambung berganti dengan suara yang kita harapkan di seberang, menunggu
download-an hingga 100%, menunggu
tanggal gajian, menunggu dosen bimbingan skripsi, menunggu hasil ujian
diumumkan, menunggu pintu lift
terbuka, menunggu datangnya kereta atau bahkan menunggu Mr. Right datang bertamu.
Di era
gadget merajalela ini, rasanya kita
lupa akan hal-hal kecil yang sebenarnya melibatkan faktor tunggu. Penyebabnya sudah
pasti karena smartphone yang hampir
selalu ada di tangan rasanya ampuh membunuh waktu tunggu. Entah scroll scroll timeline atau selfie cantik karena BT menunggu. Kalau
saya mungkin lebih memilih untuk membaca buku yang memang kebetulan saya bawa
jika harus menunggu.
Sebenarnya
setiap orang pasti punya caranya sendiri untuk menikmati waktu tunggu itu, entah
dengan chatting atau telepon dengan
orang, berkenalan dengan orang asing di sebelahnya, membaca, tidur, mengkhayal
atau berpikir. Semuanya adalah keputusan kita untuk menjadikan waktu menunggu
itu jadi lebih bermanfaat atau hanya sekedar ‘membunuh waktu.’
Sayangnya,
kita luput dari sebuah kenyataan jika hidup ini memang perkara menunggu. Menunggu
giliran untuk dijemput kematian. Menunggu kapan dipanggil olehNya. Karena kematian
itu sebuah kepastian. Nah, untuk mengisi waktu menunggu dijemput itulah semua
kembali kepada kita, dengan cara apa untuk mengisinya.
Terima
Kasih sudah membaca
January 21, 2017
What is age for you ?
Matahari
yang terus terbit di Timur dan tenggelam di Barat semakin mengantarkan saya
pada sebuah angka yang bertambah. Untuk sebuah usia yang terus bertambah, hal
utama yang harus kita ingat adalah rasa syukur untuk dapat memilikinya. Meski,
di belakangnya ada banyak pertanyaan sebagai bentuk refleksi diri. Seperti,
“Apa saja yang sudah saya raih di usia ini?” “Sifat buruk mana yang sudah
harus saya buang di usia ini?” dan masih
banyak lagi.
Bagi
saya usia melambangkan banyak hal. Selain sebagai refleksi tentang diri, usia
menyiratkan selera. Hal ini saya sadari dalam banyak hal. Mulai dari bacaan,
tontonan hingga apa yang saya dengarkan. Saya ingat betul kalau komik bagian
dari bacaan favorit saya sejak
mengenakan rok merah. Tetapi di penghujung SMA, perlahan saya merasakan
kemampuan saya menyelesaikan komik yang saya baca justru semakin lambat. Hingga
saya menyadari, saya sudah tak lagi gemar membaca komik. Tapi lebih memilih
novel atau cerpen
Begitu
juga dengan saluran radio yang saya dengarkan. Sebagai radio addicted, ada beberapa radio yang saya dengarkan dari masa ke
masa. Guyonan pagi hari yang membuat semangat dengan durasi 4 jam atau curhat
tengah malam seputar love story. Tapi nyatanya, semakin pertambahan usia, saya
mulai tidak membutuhkan mendengarkan hal tersebut. Kini saya lebih memilih
mendengarkan radio yang pagi harinya bukan lagi soal guyonan tapi related
dengan worklife. Curhat malam hari
juga rasanya sudah terlalu melelahkan didengar, sehingga lagu-lagu menenangkan
pengantar tidur yang dimainkan di radio menajdi pilihan. Singkat kata,
pergeseran radio anak muda ke radio yang agak adult juga menjadi efek dari
pertambahan usia.
Tentu
tidak semua orang setuju dengan saya, jika usia menggeser selera. Ada beberapa
dari readers yang mungkin tetap setia dengan
selera yang sama berapapun usia mereka mengalami peningkatan. Dan hal itu bisa
saja terjadi.
Usia
dan perilaku adalah dua hal yang berdampingan. Keduanya saling berkaitan di
mata banyak orang, hingga sering muncul ungkapan “Malu sama umur, kelakuan
masih begitu.” Lalu sebagian bicara kalau usia hanya sebuah angka, “age is just a number”
Lalu,
apa makna usia sesungguhnya ? tentu ia bukan hanya sebuah angka. Jika toh pada
akhirnya ada banyak pembatasan pada usia. Seperti usia yang diperbolehkan
menonton film atau mendapatkan izin mengendarai kendaraan bermotor. Jika usia
masih menjadi kotak kotak dalam pencapaian karir, dimana yang tua lebih
mendapatkan posisi yang tinggi dengan sisa energi yang mereka miliki
dibandingkan dengan yang muda dengan semangat energi yang masih meluap.
Makna
usia sesungguhnya mungkin adalah tentang tanggung jawab. Age is about increasing responsibility. Bagaimana di setiap angka
yang berganti ada tanggung jawab baru yang ikut dipikul. Selalu ada
pertanggungjawaban atas setiap tindakan yang telah kita perbuat atau juga lisan
yang terucap. Tetapi, meski begitu berapapun usiamu, tetap saja kamu adalah
bayi di mata kedua orang tuamu. Sampai kapanpun itu, bukankah begitu ?
16 Juli 2016
Bertambahnya usia bukan berarti kita paham
segalanya
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan
menjauhi tanah.
Ia
merasa telah melihat segala dari ketinggiannya
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang
selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi
Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan
berarti kita lebih mengerti dari yang semula
Rambut putih tak menjadikan kita manusia
yang segala tahu
(Jembatan
Zaman dalam Filosofi Kopi – Dee Lestari)
January 8, 2017
Teman Keabadian
Jangan datang dengan perhatian
Yang menyamarkan secercah harapan
Sepi ini sudah jadi teman
Jadi, jangan kau hancurkan
Sendiri ini pilihan
Bukan sebuah penderitaan, ataupun keterpaksaan
Perhatian itu menyesakkan
Jika mulai kau tanam, lalu ditinggalkan
Cinta tak butuh kasihan
Dan kesepian bukan alasan untuk bersama
Karna kesepian adalah teman keabadian
25 Dec 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)