As I promised on Malacca Story before, perjalanan kali ini adalah tentang extend saya dengan Mba Ria di KL (Kuala
Lumpur). Perjalanan dari Melaka ke KL menghabiskan waktu hampir 4 jam. Dan saat
itu KL sedang diguyur hujan jadi cukup lumayan macet dan genangan di beberapa
titik.
Tujuan utama kita (masih bersama rombongan) adalah KLCC
Suria. Rasanya seperti kurang sah ya kalau Ke Malaysia tapi belum foto dengan background Gedung Kembar Petronas.
Menara Petronas sendiri berada tepat di belakang Mall Suria.
Sebelum menuju kesana, kami sempat keliling-keliling di
Suria—yang tampilannya layaknya Grand Indonesia. Salah satu yang cukup bikin surprised adalah toilet dalam Mall yang
berbayar. Yup, namanya premium toilet
berada di lantai dasar dan pengunjung dikenakan RM 2 untuk sekali masuk.
Akhirnya kita memutuskan untuk naik satu lantai agar dapat menggunkan toilet free. Kalau dipikir lagi sih, Premium Toilet ini mungkin menjadikan
pengunjung—yang terburu-buru ingin menggunakan toilet—sebagai sasaran utama,
ditambah lagi dengan akses yang mudah, yaitu lantai dasar. Jadi, pengunjung
tidak perlu menghabiskan waktu untuk pergi ke toilet yang lebih jauh.
Pasca dari
toilet, saya bersama Mba Ria memutuskan untuk berpisah dengan rombongan dan
menuju kolam air mancur. Suasana pasca
hujan membuat keadaan sekitar licin meski sejuk. Akhirnya kita mengambil
beberapa gambar dengan Menara Petronas
terpotong.
Anyway, air
mancur yang ada di belakang kami setiap beberapa menit melakukan pergantian
tarian atau gerakan yang berbeda beda. Suasana di depan kolam ini juga sangat
ramai dengan pengunjung yang berfoto foto atau hanya duduk-duduk sambil
merokok. Ada juga pedagang fish eyes
maupun selfie stick alias tongsis,
jadi tidak heran jika banyak photobomb
karena banyaknya orang yang berlalu lalang.
With Foutain as a background |
Setelah cukup banyak berfoto dengan background Menara Petronas yang terpotong, kami memutuskan untuk
berjalan jalan di seputar taman KLCC yang memang sangat luas, terawat, indah
dan juga dipenuhi banyak orang khususnya para remaja. Setelah berjalan beberapa
menit, finally kami menemukan spot
yang bagus dengan background Menara
Petronas tanpa terpotong lagi. Meski, photobomb
masih sering ada karena banyaknya orang yang berlalu lalang. Untuk yang satu
ini, rasanya memang harus dimaklumi. Namanya juga tempat umum, apalagi ikon
suatu Negara.
A must photo shoot |
a must selfie |
Taman di KLCC |
KL Tower yang tampak dari kejauhan |
Setelah puas menjepret sana sini, kami memutuskan untuk
masuk lagi ke dalam Suria dan belanja coklat di Supermarket Setan. Dan karena
masih dihinggapi rasa penasaran akan isi dari Menara Petronas serta jembatan
yang menghubungkannya (sky bridge),
saya dan Mba Ria mencari tahu. Ternyata, untuk dapat naik ke atas dan ke skybridge dikenakan biaya RM 85 atau
sekitar IDR 260.000. karena waktu yang sudah sangat sempit dan antrean yang
cukup mengular, kami memutuskan untuk berfoto di depan maketnya dan window shopping di toko souvenir yang ada di dekatnya.
Maket Menara Petrnoas as a Background |
Melihat 2 mobil di atas, jadi tergoda untuk selfie (Mall Suria) |
Jam 19.00 waktu Malaysia adalah waktu yang kita sepakati
untuk bertemu karena rombongan harus segera ke bandara. Dan mulai dari sejak
itu, saya dan Mba Ria memulai perjalanan backpackeran
kami yang sebenarnya masih buta soal akses transportasi umum di Malaysia yang
terintegrasi. Beruntungnya ada temannya teman yang memberikan tumpangan dan
rekomendasi tempat untuk menginap, yaitu di daerah Chow Kit. Alasannya, karena
lebih dekat ke Pasar Seni ataupun Petailing Street. (FYI: tujuan utama kita sih
emang pengen ke situ, makanya minta diarahin penginapan yang dekat untuk
kesitu. Meski tadinya berencana untuk menginap di Bukit Bintang). Selain itu,
daerah Chow Kit makanannya juga banyak yang
halal.
Setelah menemukan hotel yang dirasa pas, kami langsung check in dan menaruh barang-barang lalu
melanjutkan keluar untuk mencari makan. Beruntungnya hotel kami dekat dengan
KFC, jadi kami memutuskan untuk makan di KFC. By the way, KFC di Malaysia hanya menyediakan nasi lemak, tidak ada
nasi putih. Karena emang dasarnya lapar dan butuh asupan energi untuk
melanjutkan perjalanan—yang medannya belum benar-benar diketahui—maka sayapun
melahap nikmat. Sementara, partner in
crime saya, Mba Ria nggak memakan nasi lemaknya.
Mengingat pesawat kita akan flight keesokan harinya pukul 18.00, maka kami memulai shopping (re : beli oleh-oleh) pasca makan malam. Tujuan utama adalah
Petailing Street. Kami mencoba naik bus umum setelah bertanya sana sini. Karena
orang-orang yang kami tanya entah kenapa tidak benar-benar mengetahui rute bus
mana yang digunakan ke tempat tujuan.
Setelah cukup lama menunggu, kami naik bus dengan tarif
RM 1. Cukup murah dan jauh dekat tarifnya memang sama. Perjalanan tidak terlalu
jauh ditambah tidak macet juga. Mungkin sekitar 15 menit. Sayangnya, kami tidak
benar-benar tahu dimana kami turun, sehingga kami masih harus berjalan lagi
untuk mencari Petailing Street. Dan sesungguhnya kami baru tahu kalau Petailing
Street itu ya China Town.
Untuk barang-barang yang ditawarkan sesungguhnya hampir
sama seperti di Indonesia. Jadi kok rasanya seperti tidak ada yang khas ya,
rasanya malah lebih bagus di Melaka. Tapi toh tetap saja ‘tawaf’ di Petailing
Street cukup memakan waktu karena tanpa terasa sudah pukul 23.00. Bus umum
ataupun bus RapidKL dan GoKL berhenti beroperasi pukul 23.00. Salah satu
pemilik toko menawarkan untuk mengantar kami ke hotel dengan mobilnya, tetapi
harga yang dipatok cukup mahal (lupa, kalo tidak salah RM 25). Untuk taxi
sebenarnya ada banyak yang terparkir tetapi khawatir harga yang dipatok akan
seenaknya karena sudah malam, kami mencoba untuk ke Stasiun LRT dekat Pasar
Seni.
Suasana di Stasiun LRT sudah pasti sepi. Beberapa orang
masih terlihat termasuk seorang Bapak Bapak yang membantu kami untuk memesan
tiket ke Chow Kit. Tetapi, berdasarkan penjelasan si Bapak, rute yang kami
tempuh haruslah transit ke KL Central terlebih dahulu dan berganti MRT. Karena
khawatir MRT menuju Chow Kit sudah tidak beroperasi ketika kami sudah sampai di
KL Central, si Bapak tidak merekomendasikan. Akhirnya kami tidak jadi beli
tiket dan turun untuk keluar stasiun.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam dan
suasana sekitar cukup sepi. Meski tampak beberapa pekerja dan mobil berat yang
sedang mengerjakan perbaikan trotoar atau juga beberapa turis backpacker yang sedang mencari alamat. Akhirnya
kami memutuskan untuk order Grab Car
dan berdoa semoga ada yang mau mengangkut kami.
Setelah sempat sekali dicancel oleh si driver,
allhamdulillah kami berhasil mendapatkan driver
yang baik hati. Lupa namanya siapa, yang pasti orang India dan ternyata dia
bekerja di IBM (based on pengakuannya
sih gitu). Btw si driver baik hati itu langsung dapat
mengenali kalau kami bukan penduduk setempat. Nah berawal dari cerita singkat
apa yang membawa kami ke Malaysia dan besok akan segera pulang, si driver berbaik hati menawarkan kami
untuk berkeliling KL.
Well, mungkin
harus diralat bukan menawarkan melainkan sangat menganjurkan “Kalian sudah ke
Bukit Bintang? Kalian harus ke sana jika ke Malaysia. Kalian sudah kemana saja?
Ini malam terkahir kalian di Malaysia, kalian harus ke sana”. Saya dan Mba Ria
hanya bertatapan sambil tersenyum. Karena awalnya kami memang berencana
menginap di Bukit Bintang tetapi rencana berubah di tengah perjalanan hehe.
Sambil berbincang, si driver baik hati ini bagaikan guide
kami. Mengemudi dengan baik dan menjelaskan setiap spot yang kami lewati. Mulai dari Bukit Bintang yang ramai, lampu
Menara Petronas yang sudah mulai dimatikan setengahnya pada jam tertentu,
pabrik coklat murah untuk turis dll. Yang pasti untuk berptar-putar itu dia
tidak menargetkan berapa tarifnya. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada kita ingin
memberinya berapa.
Anyway,
ternyata kita sempat terlewat dari Hotel. Hem, maklum hotelnya memang agak
terpencil jadi sulit terlihat. Akibat terlewat dan jalan di Malaysia yang
kebanyakan hanya satu arah, jadi kita harus memutar yang justru membawa kita
melalui jalanan Pasar Chow Kit dan jalan-jalan tikus. Honestly, saat sudah memasuki jalanan-jalanan yang sempit dan sepi
timbul kekhawatiran kalau tiba-tiba ada orang jahat yang muncul yang ternyata
komplotan si driver. Tapi ternyata
kekhawatiran saya tidak terjadi. Kami sampai hotel dengan selamat pukul 01.30 dini
hari.
Setelahnya tentu saja kami tidak tidur, melainkan
membongkar koper dan membereskan untuk persiapan besok. Tidur di hotel juga
hanya beberapa jam, karena pukul 08.00 kami sudah keluar hotel untuk mencari
sarapan. Kali ini kami mencoba sarapan di convenience
store (seven eleven). Mba Ria
memilih indomie goreng dalam cup
sementara saya porridge dalam kemasan
dan susu kotak sebagai menu breakfast
Itinerary kami
sebelumnya, pagi ini ingin mengunjung Masjid Jamek dan Kuala Lumpur City
Gallery tetapi lagi-lagi semua berubah di tengah perjalanan. Mengingat waktu
yang sangat terbuang karena belum benar-benar mengetahui bagaimana akses
menggunakan transportasi di KL, kita masih kekurangan waktu untuk mencari
oleh-oleh. Dan setelah sarapan, kami kembali ke Petailing Street dan sekaligus
menjajal bagaimana rasanya belanja di Central Market atau Pasar Seni. Bye bye
Masjid Jamek dan Kuala Lumpur City Gallery.
Kali ini, saya dan Mba Ria menuju Pasar Seni menggunakan
bis RapidKL dengan tariff RM 1 juga (sama dengan bus umum). Di part ini rasanya gregetan, karena saya
baru tahu kalau ternyata kita bisa naik bus ini dengan membayar langsung
sebelum naik. Karena based on browsing
sebelum tiba di KL, ada kartu terintegrasi yang digunakan untuk naik bus ini maupun
MKT RapidKL. Nah karena kami tidak tahu dimana membelinya, maka sejak berada di
KL kami tidak pernah naik bus ini meski sering sekali berkeliaran di depan
mata. Huhuhuhu, kalau tau seperti itu semalam kita nggak perlu seperti bocah ilang dan kelamaan nunggu.
Pemandangan dari bus |
Sesampainya di Central Market, ternyata belum buka
karena masih jam 09.00 pagi. Sementara Central Market baru mulai buka jam 10
pagi. Akhirnya kita memutuskan untuk ‘tawaf’ lagi di Petailing Street. Nggak tahu kenapa ya, ini tempat
mungkin ada magnetnya karena berhasil menarik kita untuk berkali kali kembali
ke sini. Tetapi karena masih terlalu pagi, belum banyak toko-toko yang buka,
kecuali rumah makan yang didominasi dengan menu pork.
Main problem
saya dan Mba Ria adalah bingung mencari buah tangan yang pas untuk ibu-ibu kami,
sampai saat kami menemukan sebuah toko dengan baju yang modelnya unik. Harganya
lumayan fantastis, lebih fantastis lagi ketika si penjual menurunkan harga demi
membujuk kita untuk mau membeli. Sayangnya, kami ragu kalau ibu-ibu kami mau
mengenakan baju itu, akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan si penjual
dengan rasa takut karena si penjual ini malas dan kiranya kami hanya main-main
untuk menawar. (duh maaf ya pak cik, nggak maksud deh).
Demi menghindari si penjual, kita memutar jalan ke
Central Market melewati jalan-jalan lain hinga melewati pasar bekas yang seriously baunya membuat saya hampir
muntah. Setelah perjuangan yang panjang menembus bau yang sangat mengaduk aduk
perut di pasar bekas itu, kami berhasil menemukan jalan keluar dan sampai di
Central Market.
Suasananya sangat nyaman untuk berbelanja dan untuk
pecinta crafting, maka ini surganya.
Barang yang dijual di Central Market beberapa juga dapat kamu temui di
Petailing Street meski harganya lebih murah. Tetapi banyak barang unik dan
cantik yang hanya ada di Central Market. Bisa dibilang harga barang yang dijual
di Central Market ini lebih tinggi tetapi mungkin sepadan dengan suasana
belanja di dalamnya.
Tampak Luar Pasar Seni (Central Market) |
Meski sudah tawaf berkali-kali di Central Market, kami
tak juga menemukan buah tangan yang pas untuk ibu-ibu kami. Sampai akhirnya
saya menemukan yang pas karena nyaris menyerah (kaki mulai pegal). Sementara Mba
Ria masih juga belum. Tetapi jam 12 kita sudah harus check out dari hotel. Akhirnya kita kembali ke hotel.
Allhamdulillah kita tidak terlambat check out, meski sempat turun di jalan yang salah sehingga harus
jalan ke hotel melalui jalan tembusan. What
a really hard day for us. Karena memang sudah tengah hari dan perut mulai
keroncongan akhirnya kami memutuskan untuk makan di dekat hotel. Penjualnya
orang Indonesia, bahkan orang Jawa. Tetapi menunya tetap saja nasi lemak. Dan
minuman yang saya pesan adalah Rybenna Lychee Tea. Pilihan tepat untuk KL yang
super panas. Jajanan lain yag perlu dicoba adalah potongan buah segar (jambu)
dengan coklat bubuk sebagai bumbunya. Kalau di Indonesia mungkin disebut sebagi
rujak.
Setelah kenyang mengisi perut (btw, Mba Ria lagi –lagi nggak makan karena nggak suka sama nasi
lemak), kita berjalan menuju halte dengan menyeret-nyeret koper menyebrang di
tengah jalan. Oke, seriously untuk
perkara menyebrang jalan ini agak sanksi apakah dapat dilakukan bebas,
sementara memang tidak ada zebra cross
ataupun jembatan penyebrangan. Yang pasti kalau memang ada cctv, sudah pasti yang menyebrang sembrangan adalah orang
Indonesia. Huhuhuhu maafkan.
Btw kemana
perjalanan kita selanjutnya ? Kembali ke Central Market, karena Mba Ria masih
kekurangan buah tangan. Well, partner
saya yang satu ini memang sangat totalitas dalam memberikan buah tangan kepada keluarganya. Jadi kami kembali ke
Central Market dengan bus umum.
Saat menunggu bus di halte, kami sempat berbincang
dengan bapak-bapak yang ternyata adalah orang Indonesia. Beliau berasal dari
Riau dan sudah 15 tahun bekerja di Malaysia. Karena tujuan kita sama yaitu
Pasar Seni a.k.a Central Market, maka beliau membantu kita dalam menaikkan
koper ke dalam bus. Begitu juga saat turun. Anyway
selama setiap naik bus di KL, kita allhamdulillah selalu mendapatkan tempat
duduk loh.
Meski jalanannya agak ribet dan tempat yang sebenarnya
berdekatan tetapi terasa jauh karena harus memutar, KL lumayan tertata sih
dibandingkan Jakarta. Volume motor yang tidak seganas di Jakarta menurut saya
menjadi salah satu pembedanya. Harga angkutan umum (bus) yang seragam yaitu 1
RM kemanapun juga menjadikan masyarakatnya tidak ragu menggunakan transportasi
umum.
Setelah menunggu Mba Ria ‘tawaf’ sendirian di Central
Market, kami memutuskan untuk ke bandara menggunakan KLIA Express (semacam
kereta bandara). Harganya cukup lumayan tetapi ada jaminan akan tiba di bandara
dalam 1 jam. Kami sudah sepakat harus ampai di bandara sekitar pukul 15.00,
karena pesawat akan flight pukul 18.00. Mengingat sudah pukul 14.00, maka kami
segera ke KL Central untuk naik KLIA Express.
Kami pergi ke KL Central menggunakan LRT dari Stasiun
Pasar Seni. Akhirnya kami menjajal membeli tiket di ticket machine. Nah sistemnya bukan kartu, tetapi semacam koin plastik
berwarna biru (disebut token) yang imut-imut dan rentan banget untuk hilang
atau terselip. Kalau sudah begitu, jangan harap kita bisa keluar dari stasiun
tujuan. Karena untuk melewati gate
keluar stasiun kita harus menggunakan token biru itu.
Perjalanan dari Stasiun Pasar Seni menuju KL Central
hanya berjarak 1 stasiun, sehingga tarifnya hanya RM 1. Btw untuk segala keriwehan di LRT ini kami tidak sempat
mendokumentasikan, karena berjibaku dengan waktu untuk dapat sampai secepatnya
di bandara. Begitu tiba di KL Central, kami langsung menuju counter ticket KLIA Express. Tarifnya lumayan
mahal, yaitu RM 55. Tetapi sebanding dengan kenyamanan yang ditawarkan juga
kecepatannya. Kami hanya menghabiskan waktu 30 menit untuk sampai di bandara. Padahal
jika menggunakan jalur darat, bisa sampai 2 jam. Bravo lah untuk KLIA Express. Anyway,
lagi-lagi kami bertemu dengan orang Indonesia yang berasal dari Aceh saat ada
di KLIA Express. Beliau sedang kunjungan kerja di Malaysia.
Selfie ceria di dalam KLIA Express |
Favourite Place from log hard tired day |
Just arrived in KLIA |
Perasaan lega tiada tara begitu sampai di bandara. Meski
pada akhirnya ternyata pesawat delay,
tetapi perjalanan ini allhamdulillah berhasil kami selesaikan dan sampai di
Jakarta. Thanks to Mba Ria who always
help me in every situation. Apalagi saat bongkar koper di toilet bandara
dan menata ulang packing kita untuk
mengamankan buah tangan (khawatir ditahan pihak imigrasi). Juga untu semua
perjalanan yang random dan melelahkan, tawaf berulang-ulang, panik karena loket
checked in bagasi sudah tutup. Thanks for
sharing in every situation dan menjadi pendengar keluh kesah, curhatan
receh selama di Malaysia. Finally, we did
it ya Mbak, backpackeran meski
dorong-dorong koper. Dan maafin karena salah info soal RapidKL yang ternyata
bisa naik dan bayar langsung. At least,
dari kerandoman itinerary ini, kita
bisa menjaajal hampir semua public transportation
di Malaysia.
With My Partner in Crime, Mba Ria |
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Semoga bermanfaat
untuk readers. Yang pasti kalau mau
jalan-jalan plus shopping, 2 hari
rasanya nggak cukup di KL.
Nah, supaya layaknya
blog traveler, saya akan sharing cost
selama 2 hari di KL.
Pengeluaran
:
Hotel
: RM 30/night (sharing)
Diner
in KFC : RM 7,9
Uber
: RM 10 ( sharing)
Breakfast
in Sevel : RM 4,9
Lunch
: RM 6,3
KLIA
Express : RM 55
Bus
: RM 1/people
LRT
: RM 1 (depends on destination)
Me in super riweh pose |