Love is Not the Price Sight
Oleh
Fitria
Wardani
“Kamu bisa nggak untuk fokus makan dulu dan berhenti
mainin tablet kamu itu,” ujarku kesal pada Malik setelah 15 menit berlalu, ia
belum juga menyentuh makanan yang dipesannya.
“Aku nggak lagi main, sayang. Aku lagi mencari
bongkahan berlian,” jawab Malik santai tanpa melepaskan pandangannya dari
tablet di tangannya.
Mata coklat Malik yang menatap tajam setiap dia
sedang fokus menekuni pekerjaannya adalah sudut favoritku. Dahinya yang
berkerut dan ekspresinya menggigit bibir setiap menemuni kesulitan adalah
pelengkapnya. Aku selalu membiarkan pemandangan itu bertahan hingga berjam-jam,
karena hal itulah yang membuatku semakin dalam jatuh cinta dengannya. Tetapi,
tidak dengan sekarang. Dengan waktu bertemu kami yang semakin sulit karena
sama-sama sibuk bekerja, hitungan detik terasa berharga bagiku untuk dapat
memiliki quality time bersamanya.
“Bongkahan berlian apa sih ? Game kan intinya,” tanyaku dengan sedikit meninggikan suara. Meski
kutahu hal itu akan mengundang pasangan mata ke arahku. Tetapi, siapa peduli
kalau hal itu sekaligus membuat mata Malik menuju ke arahku.
Bingo ! Malik segera mengubah posisi duduknya yang
miring dengan kaki disilangkan menjadi tegak dan lurus menghadap ke arahku,
kekasihnya selama 4,5 tahun terakhir.
“Attaya, kamu tentu tahu dan berpendidikan bukan ?
Kita sedang makan di restoran ternama, yang untuk bisa lunch di sini saja, aku harus booking seminggu sebelumnya. Dan kamu
juga tentu tahu, kalau kamu sedang makan di tempat seperti ini, nggak
seharusnya kamu bersikap nggak sopan dengan bicara setengah teriak seperti
tadi,” jelas Malik panjang lebar dengan setengah berbisik kepadaku. Persis
seperti seorang ayah yang sedang membisiki putrinya tentang norma dan sopan
santun.
“Aku nggak butuh lunch
di restoran yang untuk bisa makan aja harus nunggu seminggu, tetapi
ujung-ujungnya aku cuma dicuekin sama kamu. Aku cuma mau makan siang sambil
ngobrol sama pacarku yang super sibuk ini. Apa itu salah ? Hah ?,” tanyaku
sambil meletakkan garpu dan sendok dengan kasar.
Aku tahu, sekarang di restoran ternama dengan alunan
musik Eropa ini semua pengunjung tidak hanya mengirimkan pandangannya ke
arahku. Mereka juga saling berbisik. Aku tak peduli. Toh aku tak mengenal
mereka. Sementara reaksi Malik terlihat malu sekali dengan kelakuan kekasihnya
barusan. Terbukti ia menyapukan kedua telapak tangannya dari dahi dan berakhir
dengan menopang dagunya dengan ujung-ujung jarinya. Tanpa kata-kata untuk
menenangkanku.
* * *
Harus kuakui restoran Eropa ternama itu memang
eksklusif, sampai-sampai tidak ada taksi yang terparkir di depannya. Mungkin
karena berada di dalam kompleks hotel berbintang atau karena restoran itu tidak
ingin memiliki pengunjung yang melarikan diri dari kekasihnya, seperti aku. Ah,
entahlah. Aku hanya terus berjalan dengan high
heels hitamku di bawah teriknya matahari untuk dapat menemukan pintu keluar
atau taksi yang bersedia mengangkutku.
“Kamu mau sampai kapan jalan dengan high heels setengah jutamu itu, Taya ?,”
tanya sebuah suara yang sudah pasti milik Malik.
Aku berhenti dan menundukkan kepala melihat ke arah high heels yang kukenakan hari ini. Aku
berani bersumpah kalau high heels ini
baru ku beli seminggu yang lalu dengan uangku sendiri. Tetapi, aku juga berani
bersumpah kalau Malik juga tahu merk high
heels yang kukenakan. Tuan Branded itu mungkin punya tumpukan katalog
fashion wanita pria di rumahnya, hingga hapal luar kepala. Hufft. Menyebalkan.
Tak terasa lamunanku mengantarkan Malik tepat di hadapanku.
“Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud ngajak kamu lunch dan nyuekin kamu, sayang. Aku
sibuk dengan tabletku karena aku…”
“Sedang menganalisa market pagi tadi. Untuk bisa
tahu selepas lunch nanti, kamu mau
beli atau jual saham apa? Online Trading lagikan?,” jelasku memotong
penjelasannya.
“Nah itu kamu tahu. Kamu emang pacar aku yang paling
pintar,” puji Malik sambil mencubit hidungku.
“Pacar yang paling pinter? Maksudnya ada pacar kamu
yang lain yang kurang pintar?,” tanyaku ketus.
“Oh Tuhan…kenapa Engkau kirimkan kekasih yang sangat
pintar seperti Attaya kekasihku ini?,” tanya Malik dengan suara agak keras dan
menengadahkan kepalanya ke langit.
Aku lekas membungkam mulutnya malu. “Apaan sih? Malu
tahu,” tanyaku sedikit berbisik.
Malik meraih
tangan yang kugunakan untuk membungkam mulutnya dan entah darimana, sebuah
kotak seukuran kartunama kini berada di tanganku. Bukan! Ini pasti bukan
cincin. Lagipula mana mungkin Malik, Tuan Branded yang selalu hafal dengan
harga setiap benda di depan matanya melamar kekasihnya di bawah terik matahari
seperti ini.
“Buat kamu, Taya. Buka aja kalau penasaran sama
isinya,” pinta Malik seolah menjawab kerutan dahiku pertanda bingung.
“Kartu kredit ? Buat apa ?,” tanyaku lagi-lagi
dengan dahi berkerut setelah mengetahui isi kotak yang ada di tanganku. “Tentu
saja buat kamu belanja, sayang. Limitnya 10 juta”
“Buat aku?,” tanyaku dengan membelalakkan mata.
“Iya, sayang. Aku sengaja ngajak kamu lunch hari ini karena aku mau kasih itu
buat kamu. Tapi, kamunya nggak sabaran dan malah lari dari restoran yang udah
aku booking dari seminggu lalu,”
jelas Malik.
“Tapi aku nggak butuh ini, Malik”
“Sst…jangan bilang nggak, tapi belum. Anggap aja
kamu belum butuh saat ini, tapi pasti akan butuh nantinya. Aku cuma ingin
membahagiakan orang yang aku cinta, Taya. Dan salah satu bentuknya, ya aku
kasih kamu kartu kredit ini. Kamu bisa shopping
sepuas kamu.”
Aku hanya diam. Menatap Malik tajam dan mengukirkan
senyuman. Jika saja Malik dapat mengartikan tatapanku yang mencoba menyampaikan
kalau aku bukan tipe wanita penggila shopping.
“Jangan melihat aku seperti itu, Taya. Kamu tahukan,
apa yang sudah aku kasih ke kamu, pokoknya nggak boleh dibalikin,” pinta Malik
dengan menyilangkan tangan di dada dan buang muka. Ciri khasnya setiap aku tak
menyukai barang pemberiannya.
“Okay, aku
terima tapi aku rasa aku belum berniat untuk memakainya dalam waktu dekat ini,”
jawabku akhirnya sambil memasukkan kotak berisi kartu kredit ke dalam tasku. “Thanks anyway, sayang,” ujarku smabil
mengecup pipi Malik.
* * *
Sudah 30 menit
berlalu dari jam 7. Nampaknya gadis yang ditunggu Malik tidak datang. Meski
sebelumnya si gadis telah mengiyakan untuk bertemu dengannya di warung tenda
sederhana pinggir jalan, tapi bisa saja itu hanya jebakan manis.
Malik gelisah dan
berbagai spekulasi menghinggapi kepalanya. Malam minggu ini harusnya jadi malam
minggu pertama ia menikmati gaji pertamanya sebagai fresh graduate bersama
orang yang telah dia janjikan dalam dirinya sendiri. Seorang gadis yang pernah
menolongnya di kala genting. Malik hanya ingin membalas kebaikan itu dengan
gaji pertamanya meski hanya makan di sebuah warung tenda sederhana.
Sia-sia sudah Malik
menunggu, nampaknya gadis itu benar-benar tidak datang. Malik bersiap bangkit
dari tempat duduknya dengan wajah kecewa. Tetapi sebuah suara melunturkan
ekspresinya.
“Kak Malik ya? Maaf
ya kak aku telat. Aku nggak tahu kalau ternyata di sini banyak warung tenda.
Jadi, tadi aku masukkin satu per satu buat tahu kakak ada dimana."
“Oh..oh iya, nggak
kok. Nggak apa kok,” jawab Malik tak beraturan. Sama tak beraturannya dengan
detak jantungnya saat ini berhadapan dengan malaikat cantik yang ingin ia
bahagiakan untuk selamanya.
* * *
“Oh my god
! Tiffany and Co. Malik ngelamar lo dengan cincin Tiffany and Co. Gila banget
sih Ya, Malik kerjaan apaan emangnya?,” teriak Shinta sahabatku sambil terus
menggenggam jari manisku.
Aku hanya tersipu sambil mengingat peristiwa semalam
saat Malik akhirnya melamarku. Dan hari ini dnegan kedok membuat kue kering
bersama Shinta—sahabat dekatku—sesungguhnya aku ingin memamerkan cincin ini.
“Kok lo nggak bilang selamat sih ke gue ? Malah
nanya kerjaannya Malik. Nggak penting banget. Kaya baru kenal Malik kemarin
aja,” gerutuku pura-pura ngambek.
“Ya congratulation,
Taya. Gue senang banget akhirnya kalian bakalan married. Tapi emang beneran si Malik masih kerja yang jual beli
saham gitu? Gede banget ya gajinya? Gue juga mau deh jual beli saham gitu. Biar
bisa beli Tiffany and Co dan kartu kredit. Kaya lo,” cerocos Shinta.
“Broker, Shin. Sebutannya tuh broker. Dan nggak
sembarangan jual beli saham. Tapi diperlukan analisa yang bagus supaya tepat
sasaran. Makanya bisa dapet gain.
Makanya harus smart. Kaya Malik.
Makanya gue suka”
“Bukan karena Malik ganteng?”
“Karena dia smart,
makanya dia jadi ganteng di mata gue”
“Tapi seriusan dia ngelamar lo di warung tenda
dengan cincin super mewah kaya gitu?”
Aku mengangguk dengan senyuman lebar. “Iya serius.
Di warung tenda tempat pertama kali dia traktir gue dengan gaji pertamanya.”
“Kok gitu? Kenapa?”
“Hm..sebenarnya emang gue aja sih yang pengen makan
berdua di tempat itu lagi. Eh ternyata dia malah ngelamar gue di situ”
“Tapi Tay, lo udah yakin banget nih sama Malik?”
“Ya iya dong, Shin. Kita udah jadian hampir 5 tahun
lho. Dan kayanya itu udah cukup buat gue bikin yakin kalau he is the one for me”
“Tapi kebiasaan Malik yang suka ngomongin harga itu
lho. Gimana ya ngomongnya..lo nggak terganggu gitu?”
“Oh itu…ya sih gue juga sebenarnya nggak suka kalau
Malik tuh selalu melihat sesuatu dari harganya. Tapi, sebenarnya itu tuh baru
sekitar 2 tahun terakhir lho, Shin. Gue kenal banget Malik dan sebenarnya dia
nggak kaya gitu..awalnya. Dia sederhana kok. Jadi, one day dia pasti akan kembali pada Malik yang dulu..Malik yang
sesungguhnya. Gue percaya itu. Dan mungkin gue yang harus memabwa Malik kembali
pada dirinya yang dulu,” jelasku meyakinkan sahabatku ini.
“Ciyeelah…bijak banget sih sahabat gue ini,” ledek
Shinta sambil menebarkan terigu ke wajahku, kemudian berlari. Tak mau tinggal
diam, aku mengambil segenggam terigu dan mengejar Shinta untuk membalasnya. Alhasil
kami saling berkejar-kejaran dan perang terigu di dapur tanpa menyadari keadaan
sekitar. Hingga…
“Brukk,” Shinta menabrak sebuah tubuh tegap dan
wangi. Tubuh Malik. Ralat. Shinta bersama terigu satu kilogram yang ia pegangi
sebagai senjata menabrak Tubuh Malik. Kini Malik ikut berlumuran terigu dan aku
terbahak melihat kejadian itu.
“Astaga. Shinta. Kelakuan kamu kaya anak kecil
banget. Kamu tahu nggak sih berapa harga cardigan
aku?,” teriak Malik dengan mata menyala.
Aku tahu benar Malik paling benci kotor. Kulihat
Shinta takut mengkerut tak bergerak karena diteriaki Malik. Aku menghampiri
Malik dan membersihkan terigu di cardigannya.
“Maaf ya sayang. Shinta nggak sengaja. Tadi kita
terlalu asyik bercandanya. Jadi, kita nggak sadar kalau ternyata ada kamu di
dapur,” bujukku sambil mengibas-ngibaskan terigu dari cardigannya.
Tetapi langkah tanganku terhenti. Malik memegang
tanganku. Tepat pada telapak tanganku yang bersarang cincin Tiffany and Co pemberiannya
semalam. “Attaya, kamu tahu nggak sih cincin ini berapa harganya? Ini cincin
Tiffany and Co. Belum sampai 24 jam aku kasih ke kamu dan udah kamu kotorin
pake terigu kaya gini. Aku nggak habis pikir ya. Kamu kekanak-kanakan banget.”
“Iya, Malik. Maaf..aku tahu kok ini cincin mahal.
Tadi lupa aku copot cincinnya sebelum bikin kue. Aku cuci dulu ya. Jangan marah
dong,” bujukku sambil menepuk pipi Malik pelan.
* * *
Jantungku berdetak tak beraturan sejak semalam. Tapi
detik ini rasanya jantungku sudah ingin melompat keluar. Perasaan tidak tenang
dan gelisah juga menghampiri silih berganti. Oh inikah rasanya menjadi
pengantin ? Kenapa rasanya seperti pertama kali janjian berkencan dengan Malik
5 tahun yang lalu.
Riasanku sudah selesai 30 menit yang lalu. Penghulu
juga baru saja datang. Tetapi, Malik dan keluarganya belum juga menampakkan
batang hidungnya. Aku sendiri sudah tidak bertemu Malik sejak 5 hari yang lalu karena
kami sama-sama dipingit. Komunikasi masih terjalin tetapi 2 hari terakhir ini
Malik tidak ada kabarnya. Mungkin dia sibuk menghafal naskah ijab kabul.
Tamu-tamu di depan sudah mulai berbisik. Penghulu
juga sudah mulai bertanya kemana si calon pengantin pria. Aku mulai gelisah dan
khawatir. Panggilan telpon yang kutujukan ke ponsel Malik telah berkali-kali
kulangsungkan. Tapi nihil. Tidak ada jawaban. Apakah terjadi sesuatu pada Malik
dan keluarga dalam perjalanan. Aku mulai memikirkan kemungkinan terburuk hingga
ibuku masuk dan memelukku.
Sambil memperkuat pelukannya, ibuku berbisik
“Attaya, hari ini Malik tidak akan datang. Malik memutuskan untuk tidak datang
hari ini.”
Aku tak ingat apa-apa lagi. Yang kutahu semuanya
berubah menadi gelap. Aku pingsan.
* * *
Pernikahan aku dan Malik tidak pernah terjadi.
Jawabannya sedang kucari hari ini, maka dari itu kini aku berdiri di kamar
Malik menunggu penjelasannya.
“Aku nggak punya apa-apa lagi, Taya. Aku
mempertaruhkan segalanya dan akhirnya kehilangan segalanya. Mungkin aku terlalu
serakah. Maafkan aku,” jelas Malik tanpa melihatku. Dia seakan berbicara dengan
jendela.
“Maksud kamu ?…aku nggak ngerti Malik,” ujarku
setengah berteriak ingin menangis.
“Aku mempertaruhkan segalanya. Aku investasikan
semuanya tapi ternyata harga sahamnya semakin hari semakin turun dan aku
kehilangan semuanya. Aku nggak punya apapun untuk membahagiakan kamu. Jadi,
lebih baik pernikahan itu nggak perlu terjadi”
Kepalaku terasa sakit mendengar jawaban Malik.
Alasan yang sangat tidak masuk akal dan konyol. Bagaimana bisa seorang Malik
yang selama ini kukenal sebagai sosok pria yang cerdas berpikir sesempit dan
sesederhana itu.
“Karena itu ? Karena kamu merasa kamu nggak punya
apapun untuk membahagiakan aku ? Karena alasan itu kamu memutuskan untuk nggak
datang pada hari pernikahan kita? Malik, please.
Kenapa kamu bisa berpikir sedangkal itu ? Apa kamu lupa kalau 5 tahun lalu,
kamu pun nggak punya apapun. Tapi, aku nggak pernah sekalipun ninggalin kamu,
bukan ? Apa aku minta untuk dibahagiakan dalam bentuk materi ? Aku nggak pernah
menuntut apapun, Malik. Buat aku, kebahagiaan bukan hanya soal uang. Bahagia
itu saat kita bersama, dalam keadaan apapun itu. Suka atau duka. Kalau memang
kamu ngerasa kamu nggak punya apa-apa, kita bisa mulai bersama dari awal lagi,
Malik.”
“Nggak bisa, Taya. Nggak bisa. Aku mau membahagiakan
orang yang aku cintai. Tapi saat ini, aku nggak punya apapun untuk dapat membahagiakan
kamu,” jawab Malik setengah beretriak. Kali ini wajahnya melihat ke arahku.
“Aku nggak ngerti lagi dengan pola pikir kamu,
Malik. Kamu seolah membeli cintaku dengan uang, padahal aku nggak pernah menjualnya.
Aku memberikannya dengan tulus, Malik. Aku mencintai kamu dengan tulus,” ujarku
terisak.
“Aku pikir, Malik yang kukenal selama ini adalah
pria yang smart. Cerdas dalam
mengambil keputusan, tapi nyatanya kamu nggak secerdas yang aku pikirkan.
Kamu…kamu sangat melukai perasaanku dengan nggak datang di hari pernikahan
kita.”
* * *
Pria tanggung yang
berbadan kurus dengan ransel di punggungnya itu tengah berjuang untuk goresan
tinta tanda tangan. Ini adalah hari terakhir pendaftaran sidang skripsi, Malik
harus mendapatkan tanda tangan dosen pembimbingnya, bagaimanapun juga. Begitu
tekat Malik. Demi segera meraih gelar sajana dan mendapatkan pekerjaan mapan ke
depannya.
Tetapi, perjuangan
Malik hari itu tidaklah mudah. Si empunya tanda tangan tidak berada di kampus,
melainkan di tempat lain. Mau tidak mau Malik harus menyusulnya. Matahari mulai
terik, Malik mulai lemah karena sejak pagi perutnya belum terisi oleh makanan
apapun. Maklum, sebagai anak rantau di pertengahan bulan, makan pun harus irit.
Tetapi nampaknya, tubuh Malik tidak dapat diajak kompromi. Matanya
kunang-kunang dan ia nyaris saja roboh.
“Kak, kakak kenapa
kak?,” tanya sebuah suara gadis yang menangkap tubuh Malik yang hampir roboh.
Malik segera
memeperbaiki diri. Tapi kakinya terlalu lemah untuk berdiri. Akhirnya ia
dipapah oleh si gadis untuk menepi dan duduk.
“Kakak, belum
sarapan ya? Mukanya pucat. Tangannya juga gemetaran”
“Sok tahu kamu.
Saya sudah sarapan kok,” jawab Malik ketus diikuti oleh suara perutnya yang
bergemuruh.
Gadis mungil yang
sepertinya adalah maba (mahasiswa baru) itu hanya menunduk sambil tersenyum.
Begitu juga dengan Malik, ia hanya menunduk sambil mengutuki perutnya yang tak
dapat diajak kompromi.
“Ini makan aja kak.
Siapa tahu bisa mengganjal,” ujar gadis itu sambil menyodorkan sebuah kotak
makan berwarna hijau. Malik hanya diam tak menerima. Tapi si gadis dengan
berani meraih tanagan Malik dan meletakkan kotak makannya di tangan Malik.
“Nggak usah malu-malu kak. Dimakan aja kak, kakak pucat banget. Nanti pingsan
kalau nggak makan,” ujarnya sambil berlalu.
“Hei..nama kamu
siapa?,” teriak Malik pada gadis yang telah meninggalkanya.
“Attaya, kak”
“Terima kasih ya
Attaya. Nanti kotak makannya saya kembalikan,” ujar Malik, lagi-lagi setengah
berteriak.
Gadis itu hanya
mengangguk sambil tersenyum. Senyum seorang malaikat yang menyelematkan Malik
sepanjang hari dengan energi yang bersumber dari isi kotak makannya. Hari itu,
Malik berhasil melanjutkan perjuangannya mengejar tanda tangan dosen dan
mendaftar sidang skripsi. Sejak saat itu, Malik berjanji pada dirinya sendiri
untuk membahagiakan gadis berhati malaikat itu.
End
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com