Belum genap jam
12 malam. Belum juga udara ganti hari memberikan tanda, tetapi kegelisahan tak
bisa lagi tersembunyi dalam hati. Secangkir kopi kini telah bertemankan semut -
semut hitam yang saling berebut ampas, atau mungkin juga mencari manis yang
tersisa. Seperti halnya denganku yang masih saja menyisakan secercah harapan di
balik kegelisahan
Tidak akan ada
yang bertanya mengapa aku belum tidur di malam yang belum berganti hari. Mereka
semua seolah sudah hafal dengan tabiatku yang tidur menjelang subuh. Mereka
juga sudah jera menasihatiku untuk menghentikan permainan gitar di tengah malam
yang kadang mengganggu. Bermain gitar. Mencatatkan nada-nada baru lewat puisi
yang kau tuliskan untuk kita selama 3 tahun lamanya.
Tetapi, kalau
ada yang bertanya mengapa aku belum tidur malam ini, maka aku memiliki jawaban
lain. Aku hanya menunggu jarum detik mengantarkan pergantian ke menit, lalu
menit menuju ke jam. Hingga jam menunaikan tugasnya untuk memberi tanda
pergantian hari. Hari baru. Aku hanya menunggu pesan pertama yang datang dalam
ponselku di hari bertambahnya usiaku. Pesan yang selalu kamu kirim di usia 17,
18 dan 19 ku. Kamu selalu jadi yang pertama dengan sebaris doa.
Lalu, aku
terbangun di usia 20 ku, merasakan pesan yang kau kirim dari duniamu yang telah
berbeda.