Satu per satu pelayat berbaju
hitam itu meninggalkan gundukan tanah yang bertabur bunga segar. Mendung memang
telah bergelayut di langit, tetapi belum juga menitikkan air ke bumi. Akhirnya
kulangkahkan kakiku menuju makam orang yang pernah kucintai dan diam-diam masih
kucintai hingga saat ini. Aku beranjak meninggalkan pohon kamboja yang sedari
proses pemakaman hingga selesai meminjamkan tubuhnya sebagai tempat
persembunyianku. Ya, aku memang lelaki pengecut yang hanya dapat mengantarkan
kepergian orang yang begitu tulus mencintaiku—selama hampir 5 tahun—ke tempat
peristirahatan terakhirnya dari kejauhan.
Dengan gemetar, kupaksakan
kakiku terus melangkah menuju makam Rina. Ketakutan muncul kalau-kalau Rina
bangkit dari kuburnya lalu menerkamku di sore yang menunggu hujan datang ini.
Rina mencekikku dan mengajakku ikut tinggal di liang peristirahtannya kini yang
pastinya gelap.
Kuhancurkan ketakutan tak
berakal itu dalam benakku. Rina wanita baik dan ceria. Alam kami telah berbeda.
Rina tak mungkin mengajak aku—lelaki yang pernah dicintainya—untuk ikut
bersamanya di alam yang baru. Kakiku masih terus kuseret dengan gemetar menuju
makam Rina dengan lamunan 3 tahun silam.
“Aku mau dibawa kemana sih Yu?
Kok pake acara ditutup matanya begini?”, tanya Rina dengan nada penasaran.
“Udah kamu nurut aja sama aku.
Nggak akan diapa-apain kok”, jawabku
sambil terus mengarahkan Rina—yang ditutup matanya—menuju tempat yang
telah kupersiapkan.
Lingkaran cahaya lilin yang
membentuk hati di sebuah taman adalah tempat yang telah kupersiapkan. Sangat
sederhana. Seperti kebanyakan yang dipertontonkan film romantis di layar kaca
ataupun layar lebar.
Sekarang, Rina telah berada di
tengah-tengah cahaya lilin yang berbentuk hati itu. Aku berada tepat di
depannya. Setelah kain hitam yang menutup matanya telah terbuka, Rina masih
kuminta untuk memejamkan matanya.
Sebelum Rina sampai membuka
matanya, kuatur kembali nafasku yang memburu. Diam-diam aku menarik nafas, tak
ingin nantinya ucapan yang keluar dari mulutku bergetar.
“Sekarang kamu boleh buka mata
kamu, Rin”, pintaku akhirnya.
Rina membuka matanya dan
terbelalak melihat cahaya lilin yang mengelilingi kami.
“Ini ada apa Yu? Kamu yang
siapin semua ini?”, tanya Rina dengan nada bahagia dan pandangan mata menyapu
sekelilingnya.
“Iya. Kamu suka?”
“Banget. Simple but romantic.
Aku tahu kenapa kamu buat ini semua.”, ungkap Rina sambil mengembalikan matanya
yang bulat ke mataku.
Aku terlonjak kaget. Khawatir. Bagaimana
mungkin Rina bisa mengetahui apa rencanaku di balik semua ini. Sepengetahuanku
Rina bukanlah gadis yang dapat membaca pikiran orang.
Rina yang kukenal adalah pecinta
lingkungan. Berbagai kegiatan sosial yang berkaitan dengan kelestarian alam
seperti menjadi agenda kesehariannya. Terakhir Rina bercerita tentang
keterlibatannya dalam kampanye melindungi orang utan. Karena hal itu, Rina
memang sering keuar masuk hutan dalam beberapa minggu terakhir. Hal itukah yang
membuat Rina bisa membaca pikiran orang? Apakah dia melakukan ritual di tengah
hutan meminta ‘keahlian khusus’ di sela tugasnya yang berkaitan dengan orang
utan?
“Bayu ! Kok kamu malah melamun
sih?”, panggil Rina dengan suara
manjanya yang menghancurkan semua hipotesa tak berdasarku.
“Iya, Rin. Aku nggak melamun
kok. Jadi kenapa aku bawa kamu kesini dan siapin ini semua buat kamu? Emang
beneran kamu tahu?”
Rina mengangguk mantap. “Karena
hari ini bertepatan dengan 2 tahun kita jadiankan? Happy Anniversarry ya
sayang. Aku pikir kamu lupa”.
Rina mendaratkan bibirnya di
pipiku.
Fiuuh. Jadi cuma itu yang ada di
pikiran Rina. Syukurlah.
“Happy Anniversarry. I love
you”, balasku.
“I love you too, Bayu”
“Rin, kamu sudah menjadi bagian
hidupku selama 2 tahun ini, begitu juga dengan aku yang telah menjadi bagian
hidupmu. 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dalam 2 tahun ini, kita sudah
saling kenal, sudah saling tahu satu sama lain. Kita memang punya banyak
kesamaan, mulai dari selera makanan, musik, sampai selektif dalam berteman.
Tetapi nggak bisa dipungkiri, kita juga punya banyak perbedaan. Kamu begitu care sama lingkungan sementara aku
seakan masa bodo dengan keadaan bumi yang semakin tua. Tetapi perbedaan yang
sepertinya kecil itu nggak jarangkan menghadirkan konflik di antara kita? Kita
nggak bisa terus ngejalanin relationship
yang terkesan dipaksakan”
Aku menarik nafas. Kulihat mata
Rina menatap tajam sambil terus mendengar setiap kata yang keluar dari
bibirku—yang memang telah kupersiapkan dengan matang.
“Aku rasa hubungan kita cukup
sampai di sini aja, Rin”, ujarku sambil melangkah mundur.
Kulihat mata Rina berkaca.
Seperti butuh tenaga untuk mengucapkan sepatah kata dari bibirnya. Hening. Tak
lama kemudian setetes air bening meluncur di pipi Rina yang beralaskan bedak
tipis setiap harinya.
“Aku rasa status aku sebagai
pacarmu dan kamu sebagai pacarku cukup sampai di sini aja Rin. Aku harap kamu
mengerti.”
Kini Rina terisak. Air mata
terus meluncur deras membasahi wajahnya. Wajahnya tertunduk menahan isaknya.
Tak ada lagi tatapan matanya yang tajam namun indah merasuk dalam mataku.
“Kamu…serius, Yu?”, tanyanya
terbata tanpa mengangkat kepalanya.
Aku mendekatinya. Merengkuh
bahunya dan mengangkat dagunya yang begitu licin.
“Aku serius, Rin. Aku ingin mengakhiri
status aku sebagai pacarmu dan kamu sebagai pacarku. Aku ingin menggantinya.
Aku ingin menjadi suamimu dan kamu menjadi istriku”, jelasku mengakhiri
sandiwara.
Mata Rina yang basah akan air
mata terbelalak.
Kusempurnakan dengan memosisikan
diriku dalam posisi memohon dan membuka sebuah kotak mungil berisikan cincin
manis yang kupersembahkan untuk Rina, kekasih yang telah kupacari 2 tahun ini.
“Maukah kamu menjadi yang
terakhir dalam hidupku Rin? Menjadi istriku? Melewati hari-hari selanjutnya
bersamaku hingga maut memisahkan kita?Maukah kamu menikah denganku?”
Rina mendekap mulutnya. Dia
menangis.
Aku langsung berdiri dan
menjatuhkannnya dalam pelukanku.
“Kamu jahat Yu. Ini nggak lucu
tau ! Jadi dari tadi kamu becanda?”, semprot Rina kesal di sela tangisnya.
Aku tersenyum kecil.
“Jadi akting aku baguskan? Terus
terima tawaran aku nggak?”
“Nggak”
“Ah kamu jangan ikutan akting
gitu dong. Mau balas dendam ya sama aku?”, tanyaku usil.
“Aku serius Yu”. Rina melepaskan
dirinya dari dekapanku. Diseka wajahnya yang penuh dengan air mata.
“Oke lebih tepatnya, aku belum
bisa menerima tawaran kamu untuk menjadi istrimu. Aku baru mengenalmu selama 2
tahun. Aku masih butuh kenal kamu lebih jauh, selain itu…masalah lingkungan
sedang begitu kelam melanda bumi. Aku nggak bisa untuk nggak peduli ataupun membagi
waktu antara lingkungan dan suamiku. Aku rasa itu jadi nggak adil. Aku belum
bisa”, jelas Rina yang seakan merontokkan jantungku.
Rina mengambil cincin manis dari
kotak kecil yang berada di genggamanku. Dia menempatkan cincin itu di jari
manis tangan kirinya. Aku sontak terkaget. Mungkinkah ini sandiwara balasan
dari Rina?
“Kalau kamu nggak keberatan dan
sedang tidak terburu-buru, aku ingin kamu memberi kesempatan bagi hubungan
kita. Setidaknya 1 hingga 2 tahun lagi. Cincin ini akan terus melingkar di jari
manis aku, anggap aja cincin pura-pura nikah. Dengan cincin ini, kita belajar
untuk beneran bersikap sebagaimana layaknya suami istri, tetapi bukan dalam hal
seksualitas. Cukup dalam perilaku kita aja. Dengan cincin ini juga, kita
belajar untuk selangkah demi selangkah menjadi serius. Tetapi kalau kamu nggak
bisa, kamu bisa pakaikan cincin ini ke wanita lain, Yu.”, jelas Rina panjang
lebar.
Aku mengangguk mantap. Ada benarnya juga semua
perkataan Rina.
“Oke. Karena ini cincin
pura-pura nikah, aku juga harus pakai dong. Aku akan cari satu lagi buat aku
pakai”
Kami saling berpelukan dengan
senyum mengembang di hari jadi kami yang ke-2 tahun di taman ini, yang menjadi
saksi cinta kami 2 tahun lalu dan saksi cincin pura-pura nikah kami yang
terikat di jari manis Rina—gadis yang kucintai dan akan terus kucintai.
Aku berhasil sampai di makam
Rina, duduk di tepinya. Mengelus pusaranya yang bertuliskan namanya.
Kukeluarkan kotak mungil dari kantong celana hitamku. Kubuka perlahan kotak
yang berisikan 2 cincin pura-pura nikah milik aku dan Rina.
Kuletakkan kotak beserta isinya
di dekat pusara Rina. Cincin pura-pura nikah yang terpasang selama 2 tahun
lebih di jari manis Rina.
Ingatkah kamu dengan cincin
pura-pura nikah ini, Rin? Bisikku dalam hati.
Ingatanku melayang menuju
peristiwa 6 bulan lalu.
“Sayang, aku udah sampe di Kedai
Kopi nih. Kamu dimana? Nggak lupa sama janji kitakan?”, tanyaku lewat sambungan
telpon genggamku.
“Iya, Yu. Aku lagi di jalan kok.
10 menit lagi sampe. Kamu tunggu aja”, jawab Rina dari seberang telpon.
“Oke, aku tunggu kamu di meja
14”.
Klik. Sambungan telpon dari
seberang telah diputus. Aneh pikirku. Tak biasanya Rina mengakhiri pembicaraan
tanpa mengucapkan magic wordnya,
yaitu “See you, Bayu” dengan nada manja menirukan anak balita.
Sudahlah. Mungkin Rina sedang
terburu-buru mencapai Kedai Kopi ini. Aku tak sabar bertemu dengannya. Sebulan
yang lalu, aku kembali menagih janji Rina. Jawabannya Rina telah siap menjadi
istriku. Kami mulai sibuk mempersiapkan segala keperluan yang berkaitan dengan
pernikahan kami. Tetapi, 2 minggu yang lalu Rina sibuk dengan rutinitasnya
sampai-sampai tak pernah memberi kabar padaku. Aku sangat khawatir, tetapi
kekhawatiranku terhapuskan karena telpon dari Rina semalam. Rina ingin bertemu
denganku di Kedai Kopi.
Rina kini telah duduk di
hadapanku. Tak ada senyum yang menghias bibirnya sejak dia datang hingga kini.
Jari manis—tempat cincin pura-pura nikah bersarang—terlihat kosong. Hei dimana
cincin itu, tanyaku. Tapi hanya dalam hati.
Moccacino dan Black Coffee
yang kupesan teronggok di atas meja. Rina tak menyentuhnya sedikitpun, begitu
juga dengan aku. Aku menangkap garis wajah Rina yang tak seperti biasanya.
Mungkinkah Rina sedang berakting?
Rina mengeluarkan sesuatu dari
tasnya. Kotak mungil yang berisikan cincin pura-pura nikah pemberianku 2 tahun
silam. Rina mendorong kotak itu ke arahku.
“Aku minta maaf, Yu. Aku nggak
bisa memenuhi janjiku 2 tahun silam. Aku nggak bisa menjadi istrimu”, jelas
Rina yang membuatku seperti tersambar petir di siang bolong.
“Kamu…kamu apaan sih Rin? Aku
tahu kamu pasti lagi becandakan? Kamu
lagi aktingkan? Membalaskan dendam kamu yang 2 tahun itu di taman?”, tanyaku
bertubi-tubi sambil berharap Rina akan jawab ‘ya’.
“Nggak, Yu. Aku nggak suka
becanda kaya kamu. Aku juga nggak punya bakat akting seperti kamu. Aku
serius.”, tegas Rina dengan traut wajah seolah dipaksakan.
“Aku tahu kamu habis donor
darahkan sebelum kesini? Terus seperti biasa, kamu pasti menolak makan mi
instant yang udah disediakan panitia, dengan alasan mi instant itu nggak sehat.
Lalu dengan setengah darah kamu yang udah dikuras, kamu jadi bicara ngawur
sampai-sampai nggak mau menikah dengan lelaki yang telah kamu pacari 4 tahun
lebih?”, cercaku.
Rina hanya diam. Ayolah apalagi
ini Rin? Kenapa kamu bersandiwara sejauh ini. Sandiwaramu norak dan masih harus
belajar banyak dariku, ungkapku dalam hati.
Setahun ini, Rina memang sibuk
dengan kegiatan sosialnya, setelah orang utan, gadis berjiwa sosial tinggi ini
melirik kantung-kantung darah yang persediannnya kian menipis di Palang Merah Indonesia. Rina
mulai ikut kampanye untuk ‘Ayo Donor Darah’. Rina juga tak pernah absent untuk mengisi
kantung-kantung darah PMI dengan darahnya setiap 3 bulan sekali. Rina juga
sering mengajakkku, tetapi aku tak pernah mau. Harus kuakui aku takut akan
jarum suntik.
Aku menggenggam tangan Rina.
“Ada apa Rin? Kalau ada masalah, kamu bisa
berbagi denganku”, ujarku lembut.
Rina menarik tangannya dari
genggamanku.
“Sebaiknya kamu cari jari manis
wanita lain untuk cincin itu, Yu.”.
Rina mengedarkan pandangannya ke
arah lain. Dia tak berani menatap mataku.
“Aku nggak bisa menjadi istrimu.
Nggak akan bisa, karena aku nggak pantas”, sambungnya lagi.
“Aku yang pilih kamu, Rin.
Bagaimana mungkin kamu nggak pantas?”
“Kenyataannya memang begitu, Yu.
Aku terkena HIV.”, ujar Rina lirih.
Kepalanya tertunduk. Setetes air
bening menetes dari matanya, lalu buru-buru dia seka. Rina mengeluarkan amplop
kuning dan menyodorkannya ke hadapanku. Tanpa banyak tanya, aku membuka amplop
itu dengan perasaan gemetar.
Kubaca hasil lab yang tertera.
Rina tidak berbohong. Dia tak bersandiwara. Rina dinyatakan positif terjangkit
penyakit AIDS, penyakit yang begitu menyeramkan dan ditakuti banyak orang,
penyakit yang belum ada obatnya, penyakit yang perlahan tapi pasti akan
mengantarkan si penderitanya menuju ke peristirahatannya terakhir.
Aku tak mampu berkata-kata.
Bagaimana mungkin? Rina? Rinaku? Rina gadis yang telah kupilih untuk
mendampingiku hingga akhir hidupku? Gadis periang yang rendah hati dan tak
pernah sungkan membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan. Mengapa harus
dia?
“Aku baru tahu 2 minggu yang
lalu, Yu. Aku minta maaf telah membuatmu menunggu tapi pada akhirnya aku nggak
bisa menjadi istrimu. Aku nggak ingin merusak hidupmu lebih jauh. Aku nggak
ingin kalau nantinya…kamu dan anak-anak kita harus menanggung penyakit nista
ini. Biar aku aja, Yu. Biar aku sendiri. Aku ikhlas…kalau kamu menikah dengan
wanita manapun yang memang bisa membahagiakan kamu. Yang lebih baik dari aku.”,
jelas Rina panjang lebar di sela tangisnya.
Enam bulan berlalu setelah
pengakuan Rina. Aku tak mengatakan apapun padanya. Tak berusaha menghentikan
langkahnya untuk meninggalkanku, untuk menjalani sendiri rasa sakitnya atau
bahkan untuk sekedar mengatakan ‘aku memaafkanmu’.
Aku begitu shock mendengar pengakuan Rina. Aku menutup diri dari wanita lain
dan siapapun. Aku mengganti nomor ponselku dan tinggal di rumah nenekku yang
berada di Bandung.
Rina seakan seonggok daging haram untuk kudekati.
Aku dan Rina tak pernah bertemu atau sekedar
kontak setelah peristiwa itu. Aku begitu bodoh. Semua hal buruk tentang ODA
(Orang dengan HIV/AIDS) menutupi pikiranku. Aku tak pernah berpikir bagaimana
Rina melewati kehidupannya sebagai penyandang AIDS, tanpa aku—lelaki yang
dicintainya selama hamper 5 tahun. Aku tak berusaha mencari tahu bagaimana Rina
bisa terjangkit virus mematikan itu.
Saat pikiranku hampir terbuka
dan mencari tahu segala hal tentang AIDS, aku telah terlambat. Rina telah
berpulang ke sisiNya. Dari sahabat-sahabatnya, kudengar daya tahan tubuh Rina
terus menurun sehingga berbagai penyakit senang menggumuli tubuhnya. Ditambah
lagi, Rina merasa orang yang begitu dicintainya tak ada di sisinya.
“Rina pengen lo nyemangatin dia,
Yu. Tapi lo seakan hilang di telan bumi. Nggak tahu kemana batang idungnya”,
ungkap salah satu sahabat Rina padaku lewat telpon.
Aku tak pernah melihat bagaimana
wajah terakhir Rina. Mungkin aku tidak pantas. Aku terlalu pengceut. Sebagai
balasan dari rasa bersalahku, aku memutuskan untuk menemani Rina malam
ini—malam pertamanya sendiri tanpa siapapun di sisinya.
Suara petir menyambar begitu
dahsyat
“Kamu nggak usah takut Rin di
dalam sana. Ada aku di sini, selalu
menjagamu”,
Hujan turun mengguyur bumi.
Membasahi tanah peristirahatan Rina, juga tubuhku. Tetapi semua itu tak
membuatku beranjak dar tepi makam Rina. Karena sudah kuputuskan akan
menemaninya malam ini.
End